Jumat 26 Apr 2019 12:42 WIB

Menteri Susi Dorong Bisnis Perikanan Jadi Industri Produktif

Bisnis perikanan diharapkan membuka lebih banyak peluang kerja.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Gita Amanda
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, menekankan bisnis perikanan harus diarahkan pada industri yang produktif. Sehingga, dapat membuka lebih banyak peluang kerja dan menjadi industri yang berkelanjutan.

Ia mencontohkan, hal itu salah satunya dapat dilakukan dengan menggabungkan bisnis perikanan dengan industri pariwisata. Menurutnya, gagasan ini dapat menjadi alternatif solusi atas sumber daya ekstraktif yang dapat terus menyusut dalam jangka panjang.

Baca Juga

Menurut Susi, Indonesia harus membangun ekowisata, geopark, pertanian, fishery tourism, hingga marine tourism. Hal tersebut dinilai bagus karena akan membuka lapangan-lapangan kerja baru.

"Jadi, bisnis perikanan harus diarahkan kepada (industri) yang memiliki karakter produktif. Pertambangan saja jika nanti habis, selesai, mau apa? Pariwisata, perikanan itu industri yang produktif. Kalau industri ekstraktif akan ada masa usainya. Kalau timah sudah tidak ada lagi, kita mau apa?” ujar Susi melalui keterangan tertulisnya, Kamis (25/4) lalu.

Sejalan dengan hal itu, ia juga mendorong agar Pemerintah Daerah (Pemda) mulai memberikan perhatian lebih pada pembangunan industri serupa yang bersifat produktif untuk menjaga keberlanjutan. Semestinya, menurut Susi, semua Pemda saat ini mulai ancang-ancang untuk membangun industri-industri yang karakateristiknya produktif dan tentunya berkelanjutan atau sustainable.

"jika tidak ada sustainability tentu umur industri itu hanya akan bertahan sebentar saja,” ucapnya.

Di sisi lainnya, Susi juga mendorong agar para pelaku usaha terus mendorong upaya keberlanjutan industri perikanan sebagai renewable resources yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Ia menyatakan, upaya pemerintah, khususnya KKP, yang terus mendorong larangan praktik-praktik perikanan yang tidak berkelanjutan seperti penggunaan alat tangkap cantrang, trawl, dan bom ikan bukan untuk menyulitkan para nelayan dan pelaku usaha perikanan.

“Bayangkan, satu detonator itu mampu merusak laut berapa meter persegi? Budaya-budaya ini harus kita hilangkan. Sebaliknya, wisata bahari dan perikanan berkelanjutan inilah yang harus kita bangun untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia. Semuanya kembali ke maritim. Wisatanya, perikanannya, energinya,” tegasnya.

Menurut Susi,  larangan-larangan itu dilakukan untuk menjaga industri kelautan dan perikanan sehingga sumber daya Indonesia yang kaya hari ini untuk dapat diarahkan pada industri-industri produktif seperti wisata bahari yang akan menguntungkan dalam jangka panjang.

“Kita memiliki situasi yang berbeda. Kalau tidak dijaga, akan terjadi situasi seperti di Amerika, di mana wilayah-wilayah bekas tambang menjadi kota-kota mati. Yang harus kita pikirkan sekarang, salah satunya saya senang dengan tema wisata lingkungan. Kita bisa kembangkan juga jadi eco-tourism bahari dan perikanan. Bekas lahan-lahan tambang bisa diarahkan ke hal-hal seperti itu. Jangan sampai nanti kegiatan penambangan sudah selesai, emasnya sudah habis, lahannya jadi tidak terpakai,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Susi juga menanggapi isu melimpahnya ketersediaan ikan dan tingginya harga ikan di Bangka Belitung. Menurutnya, hal itu baik untuk mendorong peningkatan ekonomi para nelayan.

Ia menjelaskan bahwa nilai ekspor tinggi yang disumbangkan oleh Bangka Belitung selama ini dapat terjadi berkat kualitas ikan yang dipasarkan pun segar-segar. Di sisi lainnya, nelayan pun turut diuntungkan karena ikan yang dijual bernilai tinggi sehingga turut berdampak pada daya beli nelayan (Nilai Tukar Nelayan/NTN).

“Harga ikan tinggi bagus juga untuk para nelayan. Ikan di sini kan banyak sekali karena Bangka Belitung dekat dengan luar negeri. Singapura, Malaysia misalnya sehingga harga ikannya pun mahal. Semuanya diekspor sehingga bisa menghasilkan devisa negara,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement