Selasa 06 May 2025 19:55 WIB

Indef: Ekonomi Indonesia Makin ke Sini, Makin Susah Akselerasi

Pertumbuhan ekonomi dinilai sulit bergerak di atas lima persen.

Rep: Frederikus Dominggus Bata/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi geliat pertumbuhan ekonomi.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi geliat pertumbuhan ekonomi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) merespons rilisan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 di angka 4,87 persen secara tahunan (Year on Year/yoy). Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan gejala perlambatan ekonomi sebenarnya sudah terprediksi.

Pihaknya sering menggelar diskusi terkait hal itu. Ia menyebut ada banyak hal yang menyebabkan keadaan demikian terjadi. Indef turut menganalisis perihal kebijakan pemerintah merespons dinamika tersebut.

Baca Juga

"Kalau kita lihat, kita perlu mengetahui bahwa ekonomi Indonesia semakin ke sini, semakin susah untuk meningkat, untuk naik, untuk akselerasi," kata Heri, dalam diskusi yang digelar secara daring, di Jakarta, Selasa (6/5/2025).

Menurut peneliti Indef ini, dari tren per lima tahun sudah bisa dibaca. Ia memulai sejak 2010 hingga 2015. Lalu di atas 2015 sampai setelah periode Covid-19 berakhir. Heri menilai selama periode yang ia sebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat sulit untuk naik jauh di atas lima persen.

Ia kaitkan dengan apa yang terjadi saat ini. Bukan sesuatu yang mengejutkan. Kendati pemerintah sedang berproses menetapkan target yang cukup tinggi.

"Artinya, ketika ekonomi kita tidak memiliki fondasi yang kuat, maka saat ada momentum, kita sulit mengambil peluang tersebut, tetapi ketika ada gejolak, gempuran, ketidakpastian, kita dengan mudah terhempas," ujar Heri.

Ia berpendapat itulah yang terjadi saat ini. Menurutnya, itu tidak berarti dalam periode yang dimaksud atau secara umum perjalanan ekonomi Indonesia selalu buruk. Ada momen-momen tertentu yang seharusnya bisa membuat lompatan jauh.

"Tapi kita susah untuk mengambil peluang tersebut. Hasilnya ekonomi kita tidak bisa lebih dari 5,5 persen, tetapi ketika ada gejolak, kita gampang terhempas, turun, katakanlah di Bawah 5 persen. Seperti itu," jelas Heri.

Ia mempertegas, perlambatan ekonomi saat ini, menunjukkan fundamental yang cukup rapuh, dan tidak optimalnya kebijakan yang dijalankan. Kebijakan yang tidak optimal itu, menurutnya karena pemerintah kurang bisa membaca arah ke depan seperti apa, lalu kondisi sekarang bagaimana, termasuk cara meresponnya.

Secara keseluruhan, Heri menyebut ini dampak gabungan. Dimulai dari gejolak ekonomi global, ditambah respons yang kurang tepat atas ketidakpastian yang terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement