Rabu 20 Aug 2025 15:29 WIB

BI Turunkan Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Global Jadi di Bawah 3 Persen pada 2025

Tarif resiprokal AS dinilai jadi penyebab utama pelemahan ekonomi dunia.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Bank Indonesia (BI) menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2025 menjadi di bawah 3 persen, sesuai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus 2025.  (ilustrasi)
Foto: Humas LPS
Bank Indonesia (BI) menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2025 menjadi di bawah 3 persen, sesuai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus 2025. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2025 menjadi di bawah 3 persen, sesuai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus 2025. Hal itu dipicu dampak dari tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang kian meluas.

“Perekonomian dunia melemah sejalan dengan meluasnya implementasi tarif resiprokal AS,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam RDG Agustus 2025 yang digelar secara daring, Rabu (20/8/2025).

Baca Juga

Perry menjelaskan, sejak 7 Agustus 2025, tarif resiprokal AS meluas dari 44 negara menjadi 70 negara, dengan tarif terhadap sebagian negara seperti India dan Swiss lebih tinggi dari pengumuman semula. Menurut analisisnya, implementasi tarif resiprokal tersebut menimbulkan risiko melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia.

“Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2025 berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya, sekitar 3,0 persen,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Perry menerangkan, di AS prospek pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih rendah sejalan dengan melemahnya permintaan domestik. Ekonomi India juga melemah akibat tarif AS yang lebih tinggi, sehingga menekan kinerja ekspor dan sektor manufaktur.

Sementara itu, ekonomi Eropa, Jepang, dan China diperkirakan lebih baik seiring dengan kesepakatan tarif yang lebih rendah serta dukungan belanja fiskal. Kecenderungan pertumbuhan yang lebih rendah dan menurunnya inflasi mendorong sebagian besar bank sentral menempuh kebijakan moneter akomodatif, kecuali Jepang.

Di samping itu, Perry menyebut, tekanan inflasi di AS juga cenderung menurun, mendorong semakin kuatnya ekspektasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) ke depan. “Meskipun demikian, dalam jangka pendek ketidakpastian pasar keuangan global masih berlanjut dan perlu tetap diwaspadai guna menjaga ketahanan ekonomi domestik dari dampak rambatan global,” ujarnya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement