Selasa 23 Apr 2019 01:00 WIB

APBN 2019 Bakal Ditinjau Ulang Setelah Satu Semester

Pemerintah masih memantau fluktuasi harga minyak mentah dalam memutuskan APBN-P

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (22/4).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (22/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai, perubahan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 masih belum menjadi urgensi. Meski beberapa poin dalam asumsi makro telah mengalami pergeseran, masih terlalu cepat untuk memutuskan apakah ada APBN-P atau tidak.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, pelaksanaan APBN 2019 baru memasuki bulan keempat. Apabila melihat situasi ekonomi global dan domestik, terjadi perkembangan sangat fluktuatif termasuk harga minyak atau Indonesian Crude Price (ICP).

Baca Juga

Askolani menjelaskan, pemerintah harus melihat sekitar enam bulan ke depan untuk memastikan apakah mekanisme perubahan terhadap APBN perlu dilakukan. Pada kurun waktu tersebut, baru dapat terlihat apakah pelaksanaan APBN sudah berjalan secara benar atau belum.

"Kalau hanya menghitung sampai bulan empat, terlalu cepat," tuturnya dalam konferensi pers APBN di Jakarta, Senin (22/4).

Menurut Askolani, secara detail, mekanisme untuk melakukan APBN-P adalah setelah laporan semester pertama pelaksanaan APBN keluar. Dari data tersebut, akan terlihat deviasi dari asumsi makro secara komprehensif, sehingga estimasinya lebih meyakinkan.

Askolani menambahkan, perhitungan asumsi makro yang ditetapkan dalam postur APBN berlaku untuk 12 bulan ke depan. Apabila telah ditetapkan perubahan anggaran pada bulan ini atau lebih cepat dari penyampaian laporan semester pertama, akan terasa tidak maksimal. "Belum mantap jadinya," katanya.

Tapi, Askolani menjelaskan, Kemenkeu melakukan mekanisme Asset Liability Management (ALM) bulanan. Di situ, akan terlihat fluktuasi untuk dijadikan sebagai basis langkah antisipatif pemerintah maupun penyesuaian sampai nanti pelaksanaan enam bulan APBN 2019.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menjelaskan, perkembangan indikator ekonomi makro yang didesain dalam APBN akan terus diamati dari hari kehari. Di sisi lain, potensi dampak ke bujet juga terus diperhatikan.

Sebagai contoh ICP yang kini menyentuh 63,6 dolar AS per barel, atau lebih rendah dari asumsi makro dalam APBN 2019, yakni 70 dolar AS per barel. Suahasil menjelaskan, dampaknya akan dirasakan terhadap penerimaan negara. "Penerimaan mungkin lebih rendah dari yang diperkirakan," katanya.

Tapi, di saat bersamaan, nilai subsidi minyak juga dapat lebih rendah dari yang diperkirakan. Oleh karena itu, Suahasil menekankan, apabila dilihat secara komprehensif, pemerintah tidak perlu mengambil keputusan terburu-buru. Batasannya adalah realisasi selama satu semester ini yang akan dijadikan review.

Suahasil mengatakan, berkaca dari tahun lalu, pemerintah mendapatkan pembelajaran baik tanpa adanya APBN-P. Yakni, kementerian dapat berkonsentrasi melaksanakan APBN yang telah ditetapkan, sehingga tingkat penyerapan anggaran mencapai 99 persen.

Menurut Suahasil, pencapaian tersebut dikarenakan, tidak ada waktu yang terbuang oleh pemerintah untuk proses mengira-mengira APBN-P. "Pokoknya, konsisten saja untuk melaksanakan sesuai dengan APBN yang sudah ditetapkan," ujarnya.

Ke depan, Suahasil menekankan, Kemenkeu bersama Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan rupiah. Terpenting adalah menjaga stabilitas rupiah. Sebab, dengan rupiah yang stabil, dunia usaha dapat membuat perencanaan lebih baik dan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai, waktu paling lambat bagi pemerintah untuk menentukan APBN-P adalah Juni. Sebab, pada Oktober, akan berlangsung pergantian kabinet pemerintahan yang akan sulit memberlakukan kebijakan baru.

Piter menuturkan, asumsi makro yang saat ini sudah meleset jauh adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan harga minyak. Tapi, karena harga minyak sudah mulai bergerak naik, deviasi dapat ditoleransi. "Paling besar itu deviasi untuk nilai tukar rupiah," tuturnya.

Dalam realisasi sampai akhir Maret 2019, nilai tukar rupiah mencapai Rp 14.140 per dolar AS, lebih rendah dari asumsi makro di postur APBN 2019 yakni Rp 15.000 per dolar AS. Bahkan, menurut Piter, ada kemungkinan menguat di bawah Rp 14.000 per dolar AS seiring dengan kestabilan ekonomi Indonesia.

Apabila itu terjadi, selisihnya akan terlalu besar. Piter mengatakan, dampaknya akan merugikan negara. Sebab, realisasi penerimaan dapat kurang dari target. Hal ini berbeda dengan tahun lalu, di mana realisasi nilai tukar rupiah justru di atas dari asumsi makro dalam postur APBN 2018.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement