Senin 19 Nov 2018 12:09 WIB

Akademisi: Produksi Bukan Variabel Tunggal dalam Harga Beras

Luthfi: kenaikan harga beras kemungkinan disebabkan akibat perdagangan

Red: EH Ismail
Menteri Pertanian Amran Sulaiman (kanan) bersama Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso (kiri) berbincang saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pasar Beras Induk Cipinang (PIBC), Jakarta, Kamis (8/11/).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Menteri Pertanian Amran Sulaiman (kanan) bersama Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso (kiri) berbincang saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pasar Beras Induk Cipinang (PIBC), Jakarta, Kamis (8/11/).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar Ekonomi Pertanian, Luthfi Fatah mengatakan, harga beras yang tinggi di pasar tidak selalu berkorelasi dengan kekurangan produksi padi. Menurut Luthfi, kenaikan harga beras kemungkinan disebabkan akibat perdagangan.

“Bisa jadi penyebabnya adalah pergerakan beras akibat perdagangan, yang membuat stok menjadi langka,” kata Luthfi saat dihubungi via telepon, Senin (19/11).

Menurut pria yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin tersebut, kenaikan harga beras ini bisa terjadi kesengajaan pihak-pihak tertentu atau sesuatu yang alami. 

“Mungkin ada yang bermain ingin mengeruk keuntungan besar ataupun bisa juga terkait dengan distribusi atau pergerakan produk lintas wilayah yang berlangsung alami,” jelasnya.

Apapun keadaannya, Luthfi menilai kondisi harga beras bukan lagi ranah pihak yang berwenang di produksi. “Seharusnya ini menjadi kewenangan otoritas perdagangan,” ujar pakar kelahiran Kalimantan Selatan ini. 

Karena itu, Luthfi menilai, jumlah stok perlu diamati dari waktu ke waktu, serta perlu diteliti pergerakan atau distribusi beras antar provinsi dan kabupaten/kota. “Jadi untuk memperhitungkan stok beras, tidak cukup hanya gunakan data produksi beras. Ada variabel waktu dan variabel pergerakan produk,” jelas Luthfi.

Untuk mengamankan stok beras saat ini, Luthfi menyebutkan pilihan yang paling masuk akal adalah pemerintah menggalang semua kekuatan untuk menyerap hasil produksi petani. Dana impor lebih baik dialihkan untuk membeli produksi padi petani. 

Sementara pada kesempatan terpisah, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau Ujang Paman Ismail menyebut pemerintah perlu meluruskan kepada publik untuk setiap keputusan impor yang dikeluarkan. “Kalau memang perlu mengambil langkah importasi, tentunya bukan karena petani tidak mampu menyediakan beras bagi penduduk Indonesia. Tapi dalam rangka stabilisasi harga,” tegas Ujang.

Ujang menyebut data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru telah menyebutkan bahwa Indonesia tahun ini surplus beras sebanyak 2,85 juta ton. Dirinya berharap semua pihak dapat lebih bijak dan berkaca kembali, bahwa disetiap penyusunan program dan kebijakan pembangunan, terutama di sektor pertanian harus berbasis pada data.

“Hal ini agar tidak menimbulkan polemik apakah pemerintah masih perlu melakukan impor atau tidak”, jelasnya.

 

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement