Senin 24 Sep 2018 14:51 WIB

Alasan Pemerintah Batalkan Moratorium Proyek Listrik

Pemerintah memutuskan melanjutkan sebagian proyek pembangkit yang direschedule

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Pembangkit listrik
Foto: Fouri Gesang Sholeh/Antara
Pembangkit listrik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akhirnya tetap melanjutkan pembangunan proyek pembangkit listrik. Dari 15,2 gigawatt (GW) yang sebelumnya diputuskan akan ditunda oleh pemerintah, akhirnya diputuskan pemerintah akan tetap melakukan pembangunan proyek pembangkit sebesar 10,56 GW.

Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy N Sommeng mengatakan ada empat alasan pemerintah memutuskan untuk melanjutkan proyek pembangkit listrik. Pertama, terkait kesepakatan jual beli tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA).

Menurut Andy, ada beberapa perjanjian yang sudah diteken oleh produsen listrik swasta (IPP) dan PT PLN (Persero) yang sudah disepakati oleh Menteri ESDM. Hal ini berkaitan dengan harga jual listrik dari IPP ke PLN.

"Karena sudah ada kesepakatan harga, pihak IPP juga sudah melakukan langkah mencari pendanaan," ujar Andy di Kementerian ESDM, Senin (24/9).

Karena itu, lanjut Andy, jika dibatalkan pembangunannya maka akan menggangu kepastian investasi. "Dari situ, kita liat juga, sebelum mendapatkan financial closed (FC), ada PPA, lalu kan ada kewenangan ESDM. Tap sebelumnya kan B to B, antara PLN dan IPP. Jadi, kalau sudah izin menteri dan sudah ada harga, tetap jalan," papar Andy.

Lebih lanjut Andy mengatakan, selain persoalan harga, pemerintah juga memutuskan untuk tetap membangun pembangkit yang berbasis EBT untuk bisa menjaga target bauran energi. Misalnya, untuk pembangkit Geothermal kata dia, pihak IPP sudah lebih dulu membayar sebesar 0,1 miliar dolar AS per tahun sebagai salah satu komitmen pembangunan.

"Ini kan sudah jalan, kan bisa listrik mati. Jadi kalau dibandigkan, kurang berdampak dengan kaitannya dengan CAD," kata Andy.

Ketiga, persoalan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG). Andy mengatakan untuk membangun sebuah PLTGU, pihak IPP sudah lebih dulu mensepakati harga dan pasokan terhadap pihak produsen gas.

"Apabila ini dibatalkan begitu saja, maka IPP juga harus menelan kerugian karena harus tetap membayar uang yang telah disepakati," tuturnya.

Keempat, persoalan reserve margin. Di beberapa wilayah, kata Andi, pemerintah harus bisa menjaga cadangan suplai listrik agar pasokan listrik ke masyarakat tetap terjaga.

"Ini dibangun untuk menjaga realibility, artinya apa, dngan adanya reserve margin 30 persen harus dijaga. Artinya, kita agak tenang. Ini nggak boleh dikorbankan," ujar Andi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement