Senin 25 Jun 2018 14:21 WIB

Lindungi Pasar Baja Nasional, Pemerintah Lakukan Upaya Ini

Kapasitas baja global mengalami surplus 700 juta metrik ton pada 2017

Industri Baja (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Industri Baja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah bertekad melindungi pasar industri baja di dalam negeri dari sebuan produk impor seiring dengan peningkatan kapasitas produksi di tingkat global. Untuk melindungi pasar domestik, pemerintah akan melakukan sinkronisasi kebijakan yang berpihak kepada industri baja nasional.

"Apalagi, sebagai komponen dasar pertumbuhan ekonomi di setiap negara, industri baja adalah `mother of industry¿ bagi industri permesinan dan peralatan, otomotif, maritim, serta elektronik," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) 2018 Conference and Exhibition di Jakarta, Senin (25/6).

Menperin menjelaskan, produsen baja di negara-negara berkembang tengah mengantisipasi kelebihan kapasitas baja global yang mengalami surplus terhadap kapasitas produksi hingga 700 juta metrik ton pada tahun lalu. "Pada 2017, produksi crude steel secara global mencapai 1,7 miliar ton, hampir 50 persennya berasal dari China, sementara Asia Tenggara menghasilkan 1,5 persen," ungkapnya.

Kondisi tersebut, diproyeksi Airlangga bakal berdampak terhadap beberapa aspek, di antaranya adalah harga, lapangan pekerjaan, tingkat utilisasi dan profit bagi produsen baja. "Selain itu berisiko terhadap keberlangsungan industri serta berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat," tuturnya.

Di sisi lain, Amerika Serikat sebagai negara utama konsumen baja telah berencana melindungi industri baja domestiknya dengan menaikkan tarif bea masuk untuk produk baja impor sebesar 25 persen. Implementasi kebijakan AS ini dinilai akan serta merta mempengaruhi permintaan dan penawaran di pasar baja global termasuk membawa efek bagi kondisi produsen baja di negara-negara berkembang.

"Negara produsen baja utama lainnya, seperti Jepang, India dan Korea Selatan bisa saja kemudian membanjiri pasar Asia Tenggara. Dengan demikian, ini menjadi tantangan bagi kita untuk bersama-sama mengantisipasi hal yang akan terjadi di pasar domestik dalam waktu dekat," paparnya.

Kemenperin mencatat, kebutuhan crude steel (baja kasar) nasional saat ini hampir mencapai 14 juta ton, namun baru bisa dipenuhi produksi crude steel dalam negeri sebanyak 8-9 juta ton per tahun, sisanya dipasok dari Cina, Jepang dan Korea Selatan, Taiwan, India, dan lain-lain. Oleh karena itu, Kemenperin semakin memacu peningkatan kapasitas produksi industri baja nasional.

"Produksi industri baja dalam negeri terus dioptimalkan dan diarahkan pada pengembangan produk khusus bernilai tambah tinggi, sehingga kita tidak perlu lagi impor," tegas Airlangga.

Kemenperin pun mendorong percepatan pembangunan klaster industri baja, misalnya di Cilegon, Banten yang ditargetkan dapat memproduksi hingga 10 juta ton baja pada tahun 2025. Selain itu, klaster industri baja di Batulicin, Kalimantan Selatan dan Morowali, Sulawesi Tengah.

Dalam upaya mendongkrak daya saing industri baja dalam negeri, Kemenperin telah menyusun strategi, antara lain implementasi revolusi industri 4.0 di sektor industri baja untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. "Diharapkan, pengembangan industri 4.0 ini menjadi kunci untuk mendorong industri bernilai tambah tinggi dan industri hilir berteknologi tinggi menjadi pemain kompetitif di tingkat global," jelas Menperin.

Selanjutnya, melaksanakan program pendidikan dan pelatihan vokasi yang link and match dengan industri untuk menghasilkan tenaga kerja yang kompeten. "Di tahun 2018, kami menargetkan dapat menciptakan 300 ribu tenaga kerja terampil, dengan menggandeng sebanyak 558 perusahaan dan 1.500 SMK," ungkap Airlangga.

Kebijakan lainnya adalah implementasi mengenai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada proyek infrastruktur di Tanah Air. "Konsumen utama produk baja adalah sektor infrastruktur dan konstruksi, yang mencapai 80 persen dari total permintaan domestik, atau setara dengan 9,6 juta ton per tahun," ujar Menperin.

Selain fokus pada implementasi TDKN untuk meningkatkan penggunaan produk industri dalam negeri, Kemenperin juga menerapkan SNI untuk produk baja. "Saat ini, terdapat 28 SNI wajib untuk produk baja agar meningkatkan kualitas dan keamanan di industri baja dalam negeri," imbuhnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement