Rabu 04 Oct 2017 18:17 WIB

Freeport: Kami Lakukan Operasi Sesuai Aturan Pemerintah

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nur Aini
 Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.
Foto: Reuters/Stringer
Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Freeport Indonesia menanggapi hasil audit BPK yang menyebutkan bahwa Freeport berpotensi merugikan negara. Juru Bicara Freeport, Riza Pratama menjelaskan bahwa selama ini operasional Freeport sudah sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan yang tertuang pada Kontrak Karya.

Riza menjelaskan, bahwa selama ini Freeport selalu memenuhi kewajiban terkait aspek pembayaran pajak dan nonpajak termasuk dividen kepada pemerintah. "PTFI selalu memenuhi kewajiban yang diminta dalam Kontrak Karya, termasuk mengenai aspek pembayaran pajak dan non-pajak kepada Pemerintah Indonesia," ujar Riza saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (4/10).
 
Secara operasional penambangan, Riza mengatakan Kabupaten Mimika, Papua memiliki aturan daerah tersendiri yang menjadi pegangan Freeport dalam operasionalnya. Hal tersebut menjadi landasan Freeport untuk bisa melakukan operasional penambangan sesuai aturan.
 
"PTFI sebagai kontraktor Pemerintah Indonesia, melakukan kegiatan operasionalnya di Kabupaten Mimika, Papua, berdasarkan peraturan yang diatur di dalam Kontrak Karya," ujar Riza.
 
Selain persoalan pajak, BPK juga memberi catatan bahwa dalam operasionalnya, Freeport berpotensi juga melakukan pencemaran lingkungan. Hal ini terlihat dari bagaimana Freeport mengolah residu dari hasil pertambangan yang membawa pencemaran lingkungan. Menanggapi hal tersebut, Riza menjelaskan bahwa melakukan perencanaan dan pengelolaan lingkungan sehubungan dengan kegiatan pertambangannya, termasuk pengelolaan limbah pasir sisa tambang (sirsat) berdasarkan AMDAL yang disetujui oleh Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup.
 
Ia mengatakan, pengelolaan limbah pasir sisa tambang Freeport memanfaatkan aliran sungai. Hal ini menurut Riza sudah mendapatkan persetujuan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
 
"Metode pengelolaan sirsat PTFI dengan memanfaatkan jalur sungai telah mendapatkan perizinan dan persetujuan, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, yaitu Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup," ujar Riza.
 
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menerbitkan hasil pemeriksaan atas Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia pada 2013 hingga 2015. Temuannya, Indonesia berpotensi menanggung sejumlah kerugian akibat kontrak tersebut.

"Kami melakukan pemeriksaan pada April sampai Desember 2016, permasalahan yang kami temui ada sejumlah potensi kerugian yang didapatkan Indonesia pada 2009 hingga 2014," kata Auditor Utama IV BPK Saiful Nasution di Kantor BPK, Selasa (3/10).

Dia menjelaskan kerugian tersebut terkait adanya potensi kekurangan penerimaan iuran tetap dan royalti pada 2009 sampai 2014. Saiful mengatakan, potensi kerugian yang diterima Indonesia ada kemungkinan mencapai 445,96 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,8 triliun.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement