REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pajak tinggi yang ditetapkan pada profesi menulis, menurut Anggota Komisi X DPR-RI, Bambang Trimansyah adalah masalah klasik. Bambang menilai, permasalahan yang sudah berlarut-larut tersebut tidak memiliki titik temu karena memang tidak mungkin ada penghapusan pajak untuk profesi.
"Pajak itu sebenarnya sudah lama kita kompres perbukuan nasional juga kita menuntut penghapusan pajak tapi kalau penghapusan pajak kan nggak mungkin," ujar Bambang saat ditemui Republika.co.id di acara workshop penulis dan penerbit, Senayan, Sabtu (9/9).
Anggota DPR yang juga menjadi penulis lepas tersebut menjelaskan, saat ini profesi penulis dianggap sama dengan profesi lainnya. Jika penulis-penulis ngotot untuk penghapusan pajak, lanjut dia, maka akan ada banyak profesi yang menginginkan hal yang sama.
Jika alasan idealis, lanjut Bambang, seperti penulis adalah penjaga budaya, atau alasan idealisme lainnya, bantahan bisa datang dengan kata tidak semua penulis demikian idealisme. Untuk itu, lanjut dia, yang diinginkan oleh komunitas penulis saat ini bukan penghapusan lagi, melainkan keringanan dalam urusan pajak.
"Sekarang kan kita kena pajak dua kali dipotong dari penerbit dan juga kita harus melapor pajak tahunannya dari royalti itu itu yang kita tuntut, Terry Sekali lah bayar pajak terus jangan begitulah jangan 15 persen," ujar Bambang mengakhiri.
Sebelumnya, tingginya pajak penghasilan profesi penulis dikeluhkan oleh penulis fiksi kondang, Tere Liye. Ia mengatakan, dalam akun Facebooknya tidak akan mencetak buku lagi akibat ketidakadilan pajak.
Keluhan tersebut juga dibenarkan oleh rekan penulisnya, Dee Lestari. Dee Lestari bahkan menulis dalan akun sosial medianya tentang jumlah persentase pendapatan mereka dari penjualan karya tulis.
Dee menjelaskan dari harga buku, penulis hanya mendapatkan royalti sebesar 10 persen, dan kembali dipotong pajak tinggi sebesar 15 persen.