REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah menyiapkan insentif fiskal dan reformasi perpajakan guna menjaga daya saing ekspor dan mendukung likuiditas pelaku usaha, di tengah tekanan tarif Amerika Serikat (AS) yang meningkat. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebijakan ini juga dirancang agar APBN tetap sehat dan responsif.
“Pemeriksaan pajak akan diperpendek 50 persen waktunya dari 12 bulan menjadi 6 bulan dan untuk pemeriksaan wajib pajak yang sifatnya grup untuk transfer pricing yang selama ini membutuhkan 2 tahun sekarang hanya menjadi 10 bulan,” kata Sri Mulyani dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Bank Mandiri, Selasa (8/4/2025).
Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, juga mempercepat restitusi. “Untuk restitusi kami melakukan secara jauh lebih cepat untuk yang orang pribadi di bawah Rp 100 juta sama sekali tidak ada pemeriksaan,” jelasnya.
Reformasi lainnya meliputi pemangkasan tarif PPh impor dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen dan penyesuaian bea masuk serta bea keluar untuk komoditas strategis seperti CPO. Sri Mulyani menilai tarif baru AS yang disebut “Liberation Day Tariff” bersifat “purely transactional” dan tidak berbasis ekonomi. Karena itu, respons Indonesia harus “open-minded, pragmatik, dan agile.”
Di sisi penerimaan negara, Sri Mulyani menyatakan pajak bruto nasional tumbuh 9,1 persen pada Maret 2025, setelah sebelumnya terkontraksi 13 persen di Januari dan minus 4 persen di Februari.
“Penerimaan pajak bruto kita sudah turn around, sekarang sudah positif 9,1 persen. Turning around itu kelihatan sudah mulai baik,” ujarnya.
Ia juga menanggapi isu yang menyebut APBN tidak sustainable. “Dalam sebulan terakhir ini dibuat headline untuk seolah-olah APBN tidak sustainable, tidak prudent... tidak. Presiden memang punya banyak program, tapi itu semuanya didesain dalam APBN yang tetap prudent dan sustainable,” tegasnya.
Penerimaan pajak Maret mencapai Rp 322,6 triliun atau 14,7 persen dari target tahunan sebesar Rp 2.189,3 triliun. Sri Mulyani juga menjelaskan keterlambatan laporan APBN Januari disebabkan dinamika data akibat penerapan Coretax, tarif efektif rata-rata (TER), dan restitusi dari sejumlah wajib pajak besar.
“Sehingga tidak ingin menciptakan kepanikan market kami lakukan presentasi,” ujarnya.