REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berupaya mengembangkan sektor ekonomi syariah termasuk Koperasi, seiring dengan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Kementerian Bidang Perekonomian RI sedang merumuskan rekomendasi kebijakan untuk antisipasi disahkannya RUU Perkoperasian.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Bidang Perekonomian, Rudy Salahudin mengatakan, pemerintah dan seluruh stakeholder perlu merumuskan kebijakan yang melindungi Koperasi syariah dan BMT terhadap Lembaga Perbankan. Dengan demikian koperasi dapat tumbuh menjadi Koperasi skala besar yang mampu bersaing dengan Lembaga Perbankan dan badan usaha lain baik di sektor jasa keuangan maupun di sektor lainnya.
"Rekomendasi kebijakan ini untuk mengantisipasi disahkannya RUU Perkoperasian dan sebagai langkah strategis dalam mempercepat persiapan peraturan pelaksanaan kebijakan pengembangan Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah," ujar Rudy dalam acara Forum Group Discussion (FGD) Kebijakan Pengembangan Koperasi Berdasarkan Prinsip Ekonomi Syariah di Jakarta, Rabu (31/5).
Menurut Rudy, sejauh ini memang belum ada aturan tersebut. Selama ini landasan hukum Koperasi syariah hanya diatur dengan Peraturan tingkat Menteri. Pada tahun 2004 dikeluarkan landasan hukum koperasi syariah yang pertama yaitu Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM No. 91/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Dan terakhir diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi.
Di dalam RUU Perkoperasian yang baru, Pemerintah telah mengakomodir kebijakan Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah pada Pasal 51 ayat (4) dan (5), yang intinya untuk mendorong perkembangan koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah. Koperasi syariah dan BMT menyambut baik masuknya subtansi Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah dalam RUU Perkoperasian yang dan mengharapkan dapat menjadi payung hukum yang lebih kuat.
"Dengan FGD ini akan kami rumuskan hal-hal penting untuk pelaksanaan kebijakannya. Karena kan prinsip syariah tidak fleksibel seperti konvensional," kata Rudy.
Tercatat pada tahun 2016, jumlah unit usaha koperasi mencapai 150.223 unit usaha, dari jumlah tersebut sebanyak 2.253 unit usaha atau sekitar 1,5 persen merupakan Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan syariah (KSPPS) dengan angggota 1,4 juta orang.
Terdapat perbedaan antara Koperasi syariah dengan BMT, pada Koperasi syariah hanya terdiri 1 (satu) lembaga, yaitu lembaga keuangan syariah sedangkan pada BMT terdapat 2 (dua) lembaga yaitu Baitul Maal yang berarti lembaga zakat dan At-Tamwil yang berarti lembaga keuangan syariah. Untuk itu perlu peraturan pelaksanaan RUU Perkoperasian yang dapat mengakomodir BMT yang berfungsi sebagai lembaga zakat dan lembaga keuangan syariah.
FGD ini diharapkan mampu merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat mengakomodir karakteristik dan permasalahan Koperasi syariah dan BMT, sehingga perannya dapat optimal dalam menciptakan keadilan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.