REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan akan melakukan koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait temuan hasil audit atas Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kemenkeu juga akan melibatkan SKK Migas dalam penelusuran hal ini ke depannya. Sebelumnya, BPK mengeluarkan hasil audit atas SKK Migas dengan hasil tak wajar.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menjelaskan, pengelolaan keuangan SKK Migas pada dasarnya tidak berbeda dengan ketika institusi tersebut masih berbentuk BP Migas. Artinya, anggaran yang dikeluarkan baik oleh SKK Migas dan BP Migas tetap berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kami lihat dulu, nanti kan BPK menginfokan kepada Menteri Keuangan. SKK Migas juga komunikasi dengan kami," ujar Askolani di Jakarta, Senin (10/10).
Mengenai pemberian pesangon oleh SKK Migas, Askolani menyebutkan bahwa status kepegawaian dan hak pegawai SKK Migas, transisi dari BP Migas, sebetulnya sama dan kegiatan operasional SKK Migas tetap berjalan normal layaknya ketika masih bernama BP Migas. Askolani menambahkan, SKK Migas sebetulnya harus mengikuti pakem alokasi anggaran yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan. Hanya saja, ia mengakui ada sejumlah teknis anggaran yang tidak diatur oleh Kementerian Keuangan sehingga SKK Migas saat itu memiliki pedoman sendiri.
"Harus dilihat dari ketentuan Menkeu, bahwa alokasi untuk apa saja. Itu ada pedomannya. Biasanya BPK mengaudit anggaran untuk pegawai, barang. Tapi masalahnya teknis itu tidak diatur khusus oleh Menkeu," kata Askolani.
Sementara Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku belum bisa berkomentar banyak soal hal ini. Ia menyebutkan bahwa pihaknya akan melakukan komunikasi baik dengan BPK dan SKK Migas untuk menyelesaikan polemik ini.
"Saya belum baca. Nanti saya cek dulu," katanya.
Sebelumnya diberitakan bahwa BPK menyebutkan adanya kelemahan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). BPK menilai pengakuan kewajiban diestimasi atas imbalan pascakerja berupa manfaat penghargaan atas pengabdian (MPAP), masa persiapan pensiun (MPP), imbalan kesehatan purna karya (IKPK), serta penghargaan ulang tahun dinas (PUTD) senilai Rp 1,02 triliun tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
BPK menyebutkan, negara harus merogoh kocek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 2,56 triliun untuk membayar pengembalian biaya operasi atau cost recovery. Menurut BPK, pada pemeriksaan tujuan tertentu atas cost recovery ada biaya yang seharusnya tidak perlu dibebankan kepada pemerintah.