Kamis 21 Jul 2016 17:01 WIB

Pemerintah Diminta tak Panik Meski Penerimaan Cukai Tembakau Merosot

Tembakau
Tembakau

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea Cukai, diminta tidak panik dan tidak mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif, meski penerimaan cukai pada semester pertama 2016, anjlok 27,26 persen. Angka ini membuat penerimaan dari cukai hanya menyumbang Rp 43,72 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 58,30 triliun

 

"Sebenarnya tidak perlu panik, sebab  berdasarkan asumsi perhitungan industri, walaupun ada APBNP, target itu akan tercapai," ujar Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) H Ismanu Soemiran dalam keterangan terulis, Rabu (20/7).

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kembali memberi sinyal kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) akan dipercepat, menyusul kenaikan target penerimaan cukai hasil tembakau dalam APBNP 2016 menjadi sebesar Rp 141,7 triliun. Ismanu menegaskan, para pelaku usaha IHT tetap berkomitmen mendukung pemerintah dalam membiayai program negara meski kondisi industri juga semakin berat. 

 

"Tidak perlu mengadakan kebijakan yang ekstrim, seperti dengan bahasa percepatan dan sebagainya, karena industri tembakau sudah menghitung, target cukai akan tercapai sesuai APBNP. Yang harus dijaga itu volume jangan sampai turun," ujarnya.

 

Saat penerimaan cukai anjlok, kata dia, kemudian tiba-tiba diterapkan kebijakan dengan bahasa percepatan penerapan cukai, diibaratkan industri tidak lurus, belok-belok, padahal masih on the track. Ismanu memastikan penerimaan pemerintah dari CHT drop itu karena rupiahnya sudah diambil dulu sesuai titah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20 Tahun 2015 yang mewajibkan industri untuk membayarkan cukai di tahun berjalan. Efeknya, di Januari setoran kosong. 

 

Memang, kondisi industri secara umum, kata Ismanu, saat ini masih lemah, belum stabil. Namun, kini struktur industri sudah berubah dari Sigaret Kretek Tangan ke Sigaret Kretek Mesin. Pergeseran ini juga pada akhirnya akan ikut mengerek penerimaan negara karena cukai SKM lebih tinggi ketimbang SKT. 

 

"Ada pergeseran dari SKT ke SKM di pasar, kan, tarif cukainya lebih tinggi sehingga otomatis nanti ada tambahan," ucapnya. 

 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mewanti-wanti pemerintah tidak terus menerus mengejar cukai dari tembakau. Lebih baik kreatif melakukan ekstensifikasi.

Menurut dia, jika fokus pada penambahan di industri hasil tembakau, sangat sulit. Industri tembakau terlalu dipaksa mengejar target dari pemerintah.

 

"Awal mulanya karena PMK 20/2015 yang mewajibkan industri membayar 14 bulan untuk mencapai target, dan kondisi ini jadi terus-menerus terjadi untuk menutup kekosongan itu. Padahal kondisi industri kurang baik," ucap Enny. menegaskan.

Pemerintah juga harus mengharmonikan regulasi industri jika ingin target-target penerimaan bisa tercapai. "Jika semua konsisten tidak ada saling gesek, industri lebih nyaman. Sekarang kalau kemudian misal ada anak kecil merokok ya bukan industri yang salah. Itu kegagalan pemerintah dalam menjaga distribusi rokok," kata Enny. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement