Senin 30 May 2016 16:30 WIB

BI tak Khawatir Pelemahan Rupiah pada Kuartal II 2016

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nur Aini
 Karyawati menghitung mata uang rupiah di salah satu tempat penukaran valuta asing di Jakarta, Selasa (15/12).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Karyawati menghitung mata uang rupiah di salah satu tempat penukaran valuta asing di Jakarta, Selasa (15/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menegaskan, tidak perlu ada kekhawatiran atas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang menyentuh level Rp 13.641 per dolar AS berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) USD-IDR, Senin (30/5).

Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengatakan, memasuki kuartal II, volatilitas nilai tukar rupiah tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi eksternal, tapi juga dari korporasi dalam negeri yang memenuhi kewajibannya.

"Nggak apa-apa. Kebiasaan di kuartal II itu, selain ada pengaruh di luar negeri, juga ada kewajiban luar negeri yang harus dilakukan oleh korporasi," kata Agus DW Martowardojo di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (30/5).

Agus menuturkan, kewajiban tersebut antara lain seperti pembayaran dividen atau pembayaran kewajiban luar negeri. Menurutnya, tren ini termasuk hal yang biasa terjadi dan dapat diatasi di kuartal berikutnya. "Kita harapkan ini bisa kita hadapi, dan memasuki kuartal ketiga ini sudah jauh lebih tenang," ujarnya.

Sementara itu terkait rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS, the Fed Fund Rate (FFR), seperti juga di negara-negara yang lain, hal itu menjadi pertimbangan yang berdampak pada pertimbangan kebijakan sistem keuangan dunia dan juga berdampak pada negara-negara berkembang seperti indonesia. Isu FFR yang terakhir ini, menurut dia, menjadi lebih ada ketidakpastian.

Sebelumnya, pernyataan Gubernur Federal Reserve Janet Yellen memberikan sinyal untuk tidak dilakukan peningkatan FFR. Namun, pernyataan Yellen selanjutnya menyatakan bank sentral AS akan menaikkan suku bunganya pada bulan depan. Akibatnya kurs dolar AS mencapai tertinggi dalam dua bulan ini pada Jumat lalu. Hal ini berdampak kepada ekonomi negara-negara berkembang termasuk indonesia.

 

"Kalau indonesia mengalami seperti ada tekanan kita dapat memahami. Karena Indonesia kan transaksi berjalannya defisit. Dan untuk transaksi berjalan defisit itu dibiayai oleh dana dari luar negeri. Nah, dana-dana di luar negeri itu kalau seandainya ada perubahan kondisi dunia, termasuk FFR ada perubahan, itu bisa berpengaruh dan bisa berdampak pada sistem keuangan di Indonesia. Jadi kita akan terus mengamati itu," kata Agus.

Kendati begitu, Agus memandang jika ekonomi Indonesia lebih kuat. Menurutnya hal ini karena inflasi yang terjaga stabil dan diprediksi sesuai target BI yang sebesar empat plus minus satu persen. Selain itu, meski transaksi berjalannya defisit, tapi trennya membaik.

"Kita juga melihat bahwa kita memiliki pemerintah yang sangat berkomitmen untuk melakukan reformasi struktural yang membuat iklim investasi di semester kedua akan lebih baik. Jadi secara umum kita lebih baik," ujarnya.

Baca juga: Menkeu Nilai Pelemahan Rupiah karena Rumor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement