Kamis 09 Oct 2014 17:53 WIB

Peneliti: Penerimaan Pajak Rendah Karena ketimpangan Pendapatan

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
  Sejumlah siswa membubuhkan tanda tangan Generasi Muda Peduli Pajak pada acara High School Tax Festival di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (11/9). (Republika/ Yasin Habibi)
Sejumlah siswa membubuhkan tanda tangan Generasi Muda Peduli Pajak pada acara High School Tax Festival di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (11/9). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Analis Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, Yustinus Prastowo mengatakan, target penerimaan pajak dalam 10 tahun terakhir hampir tidak dapat dipenuhi karena ketimpangan ekonomi semakin lebar dan pendapatan semakin tidak merata.

Ia menyebutkan, kondisi target penerimaan pajak penghasilan (PPh) di Indonesia hampir tidak pernah tercapai dalam 10 tahun terakhir. Sementara untuk kinerja pajak pertambahan nilai (PPn) dalam periode yang sama diakuinya lebih baik.

Untuk tax ratio selama tahun 2008-2013 baru sebesar 13,3 persen. Nilai tax ratio yang rendah diantaranya yaitu sektor pertanian, perkebunan, kehutanan.

Pada 2013 1,3 persen dan 2012 1,2 persen. Sementara sektor konstruksi baru 1,59 persen. Ia menyontohkan negara lain, seperti Korea Selatan tax ratio-nya sebesar 24 persen.

“Padahal presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan menargetkan tax ratio 19 persen. Akibatnya dibandingkan negara-negara di Asia, Indonesia termasuk tertinggal,” katanya saat menjadi pembicara di acara diskusi panel yang diselenggarakan Forpesi dengan tema 'Pajak untuk Kesejahteraan Masyarakat', di Jakarta, Kamis (9/10). 

Selain itu, tingkat kepatuhan membayar pajak disebutnya cenderung menurun sejak 2012. Dia menyebutkan, kepatuhan pembayaran pajak baru 60 persen. Yustinus menambahkan, semua kondisi perpajakan itu dinilainya terjadi karena distribusi pendapatan yang tidak merata.

“Berdasarkan Palma Index, jumlah orang kaya yang hanya 2 persen semakin tinggi akumulasi pendapatannya dan terus melonjak sejak 1999. Sedangkan pendapatan jumlah orang miskin dan menengah cenderung stagnan,” katanya. Ia mencontohkan nilai PPh dari non-karyawan stagnan di angka Rp 5 triliun.

Sementara PPh pegawai menembus Rp 105 triliun. Persoalan ini ditambah dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) pajak Indonesia belum memadai dibandingkan negara lain seperti India. Pihaknya menilai kegagalan pemenuhan target pajak ini ada di tangan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Ini menjadi tugas presiden terpilih berikutnya (2014-2019) untuk meningkatkan penerimaan pajak,” katanya. Beberapa hal yang bisa pemerintahan presiden terpilih dilakukan adalah koordinasi antar lembaga, sehingga tujuan utama pajak yaitu untuk kemakmuran,kesejahteraan dapat dipenuhi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement