REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengoreksi pertumbuhan ekonomi 2014 dari 5,32 persen menjadi 5,15 persen. Pengamat ekonomi UI Muslimin Anwar mengatakan sedikitnya ada tiga faktor penyebab koreksi tersebut.
Pertama, kata Muslimin, pemulihan ekonomi global masih belum berjalan sesuai yang diharapkan. Selama ini, perbaikan ekonomi global ditopang oleh perekonomian negara maju seperti AS dan Eropa, sebagai dampak stimulus moneter yang masih berlanjut.
"Sementara Tiongkok, yang selama ini tumbuh tinggi dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi dunia, justru mengalami perlambatan, sejalan dengan kebijakan penyeimbangan ekonomi," kata Muslimin di Jakarta, Selasa (10/6).
Kedua, jelas dia, harga komoditas global masih cenderung menurun, khususnya pada komoditas karet, tembaga, dan batubara. Ketiga, risiko yang bersumber dari normalisasi kebijakan the Fed mengancam pembalikan arus modal di emeging markets.
Hal ini akan menekan stabilitas eksternal dan pada akhirnya menimbulkan gejolak terhadap nilai tukar. Ketiga faktor ini, kata Muslimin, tercermin pada pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2014 yang melambat. Terutama dipengaruhi ekspor riil yang mencatat kontraksi.
Pertumbuhan ekonomi triwulan I 2014 tercatat 5,21 persen (yoy), menurun dari pertumbuhan triwulan IV 2013 5,72 persen (yoy). Kontraksi ekspor riil terutama akibat penurunan ekspor pertambangan seperti batubara dan konsentrat mineral.
Kontraksi terjadi antara lain karena melemahnya pemintaan terutama dari Tiongkok dan menurunnya harga. Juga, pengaruh temporer dari dampak kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.
Selain itu, Muslimin mengatakan konsumsi pemerintah yang melambat juga berkontribusi terhadap perlambatan ekonomi. Pada sisi invetasi, pertumbuhan investasi bangunan tercatat melambat.
Sejalan dengan moderasi permintaan domestik, impor riil juga melambat. Namun tidak dapat mengimbangi kontraksi pada ekspor riil. Sehingga belum dapat memperbaiki kinerja ekspor neto.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (9/6), Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan adanya pemotongan dan pengurangan anggaran belanja pada kementerian dan lembaga pemerintah berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi. BI pun merespons itu dengan mengoreksi pertumbuhan ekonomi.