REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng mengatakan, ada tiga faktor yang membuat pemerintah mengurangi subsidi dan mendorong kenaikan harga BBM. Pertama, komitmen rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk penghapusan subsidi secara menyeluruh.
Termasuk subsidi energi yang telah disepakati melalui berbagai perundingan internasional. Seperti World Trade Organization (WTO), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) , United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan ASEAN.
"Melalui WTO, perjanjian liberalisasi perdagangan disepakati. Salah satu bagian dari program liberalisasi perdagangan adalah penghapusan subsidi," ujar dia, Kamis (20/6). Subsidi dianggap sebagai hambatan bagi perdagangan bebas.
Kedua, tekanan utang luar negeri dari berbagai lembaga keuangan internasional. Seperti World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB). "Kalau kita tidak melaksanakan pencabutan subsidi, kita tak dapat utang," ujar dia.
Ketiga, pengeluaran pemerintah melalui APBN yang lebih difokuskan pada pembiayaan rutin dan tidak boleh mendistorsi sistem pasar. Menurutnya, APBN tak memiliki ruang untuk melakukan pengeluaran untuk kepentingan publik. "Walau pun APBN meningkat, untuk kepentingan publik pasti berkurang," ujar dia.
Ekonom dari Econit Advisory, Hendri Saparini, mengatakan kenaikan harga BBM adalah berkah bagi pemerintah. "Target-target pemerintah tidak akan tercapai jika tidak segera mengoreksi APBN 2013," ujar Hendri.
Hendri menilai target APBN terlalu optimis sehingga sulit bagi pemerintah untuk mencapainya. "Sekarang ketika permintaan menurun, tak mungkin ekspor meningkat. Dengan cara ini, target diturunkan, akan lebih mungkin dicapai," ujar dia.