REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana akuisisi Bank Danamon oleh Development Bank of Singapore (DBS) Group Holding Ltd merupakan indikasi terjadinya ancaman terhadap kepentingan ekonomi dan perbankan nasional.
Pemerintah dan Bank Indonesia diminta tidak melakukan manuver politik untuk berpihak pada kepentingan perbankan asing. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Arif Budimanta mengatakan, keputusan akuisisi itu tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi bila keputusan itu didorong faktor politik tertentu antara pemerintah dan Singapura.
Menurutnya, pemberian gelar doktor kehormatan (honorary doctorate of letters) dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jangan sampai menggoyahkan pemimpin nasional dalam menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia.
"Kita hargai apapun bentuk penghargaan yang diberikan kepada Presiden Yudhoyono. Tapi, penghargaan itu jangan membuat Indonesia terlena, apalagi menggadaikan kepentingan ekonomi nasional Indonesia," kata Arif kepada wartawan di Jakarta, Kamis (16/5).
Dikatakannya, salah satu poin krusial dalam akuisisi itu adalah perlunya diterapkan asas resiprokal (timbal-balik) antara bank nasional dan bank asing. BI harus memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan otoritas perbankan asing.
"Daya tawar atau bargaining BI harus tinggi dan tidak boleh mengalah. Kalau DBS disetujui akuisisi Danamon, maka bank-bank dari Indonesia harus dipermudah jika membuka cabang dan melakukan aktivitas keuangan di Singapora dan juga negara lain," katanya.
Arif menyebut, indikasi rendahnya posisi tawar di hadapan asing adalah fakta direktur utama Bank Danamon adalah orang asing. Padahal, saat krisis ekonomi 1997, Danamon mengalami kesulitan likuiditas dan akhirnya oleh pemerintah ditaruh di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai bank yang diambil alih (BTO - Bank Take Over).
"Pada tahun 1999, pemerintah melalui BPPN melakukan rekapitalisasi Bank Danamon sebesar Rp32 miliar dalam bentuk Surat Utang Pemerintah (Government Bonds). Artinya di situ kan ada uang rakyat. Kalau ada pembelian saham asing, mengapa bukan orang kita yang di posisi puncak? BI harus berani bicara soal ini," katanya.
Karena masih tajamnya kritik terhadap rencana akuisis Danamon itu, Arif meminta BI tidak gegabah. Akuisisi, lanjutnya, jangan dilakukan saat ini karena akan menunjukkan bahwa Gubernur BI Darmin Nasution melakukan manuver politik menjelang jabatannya berakhir pada 22 Mei mendatang. "Perlu dibahas kembali persoalan akuisisi yang masih menimbulkan pro-kontra mengingat sejumlah masalah krusial yang belum tuntas," tuturnya.