REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Pemerintah akhirnya melayangkan surat rekomendasi resmi kepada Otorita Asahan terkait niatannya untuk mengambil alih seluruh kepemilikan saham perusahaan aluminium, PT Inalum.
Di mana dalam surat tersebut Kementrian BUMN meminta agar Master Agreement (MA) antara Pemerintah Republik Indonesia dan perusahaan asal Jepang, yakni Nippon Asahan Aluminium (NAA) diakhiri sesuai dengan masa akhir berlakunya MA itu, yakni 31 Oktober 2013 mendatang.
Menteri Negara BUMN, Mustafa Abubakar mengakui, jika dirinya telah menandatangi surat rekomendasi resmi kepada Otorita Asahan terkait pengambilalihan PT Inalum. "Surat rekomendasi tersebut berisikan usulan dari Kementerian BUMN untuk mengambil alih kepemilikan saham di Inalum. Nantinya, pemerintah Indonesia resmi menguasai Inalum sepenuhnya," paparnya saat diwawancara wartawan, di Bandung, akhir pekan lalu.
Diungkapkannya, surat tersebut telah diserakan kepada Otorita Asahan untuk ditindaklanjuti kepada pemilik saham saat ini. Mustafa menjelaskan, dalam kesepakatan MA itu, terdapat klausul yang menjelaskan, jika tiga tahun menjelang berakhirnya MA nanti, PT Inalum berhak mengajukan perpanjangan masa berlaku MA.
Oleh karenanya, lanjut dia, pemerintah memiliki tiga tahun masa persiapan untuk transisi. "Dan kami (Kementrian BUMN), Kementerian Keuangan, sudah membuat surat formal kepada Menkoperekonomian dan Presiden untuk diberi kesempatan, di mana 100 persen saham jadi milik Indonesia," tegasnya.
Saat ditanya soal kebutuhan dana yang disiapkan oleh pemerintah dalam mengambil alih kepemilikan saham Inalum, Mustafa menjelaskan, saat ini auditor perusahaan, yakni Earnst & Young belum memberikan laopran final terkait hasil auditnya.
"Namun, kami telah menginventarisir dan sudah mengukur pendanaan. Mudah-mudahan tercover oleh BUMN. Dari segi teknis dan managemen serta pengalaman puluhan tahun dengan pihak luar, yaitu dengan Pihak Jepang, insya Allah kami mampu mengelola itu. Di samping itu ada BUMN yang hampir sejenis, Antam, yang juga bisa bergabung dan melanjutkan ini," paparnya.
Meski demikian, Mustafa belum dapat menyebutkan kisaran dana yang dibutuhkan untuk melakukan langkah penguasaan saham tersebut. "Kata auditornya mereka sedang dalam proses mengaudit dan butuh tambahan waktu sekitar dua minggu lagi, nanti saya beri tahu," tukasnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN, Irnanda Laksanawan menjelaskan, sikap resmi pemerintah itu sesuai aspirasi masyarakat Sumatera Utara dan DPR.
"Oleh karenanya, kami mengambil sikap untuk menolak usul perpanjangan periode operasi pabrik peleburan aluminium itu," tegasnya.
Setelah ini, lanjut dia, dibutuhkan pembahasan lanjutan terkait sikap tersebut dengan Kemenperin, Kemenkeu, dan Menkoperekonomian.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRES), Marwan Batubara mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengambil alih seluruh saham PT Inalum. Namun, dia menyarankan, agar pemerintah pusat dapat menginisiasi pembentukan BUMN baru di mana pemerintah daerah melalui BUMD-nya juga dilibatkan.
"Jadi dibentuk semacam konsorsium antara BUMN dan BUMD, agar daerah juga merasakan manfaat dari pengambilalihan tersebut," tegasnya.
Untuk diketahui, sesuai perjanjian kontrak RI-Jepang pada 7 Juli 1975, Proyek Asahan yang terdiri dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pabrik peleburan aluminium ini, akan berakhir Oktober 2013.
Saham Inalum sebesar 58,88 persen dikuasai 12 investor Jepang melalui Nippon Asahan Aluminium (NAA), selebihnya atau 41,12 persen dimiliki pemerintah Indonesia. Inalum bergerak dalam industri aluminium dengan kapasitas produksi sekitar 230 ribu-240 ribu ton per tahun.
Inalum juga satu-satunya perusahaan lokal yang bergerak di sektor produksi aluminium. Selama ini, hasil produksi Inalum sebagian besar dikirim ke Jepang, dan Indonesia sendiri harus mengimpor alumunium dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Hasil laporan kinerja menyatakan, PT Inalum memiliki kondisi keuangan hingga tahun fiskal 2010 terus membaik. Inalum sendiri menargetkan dapat melakukan percepatan pelunasan utang paling lambat pada 2012.
Di mana pada akhir 2009 lalu, utang Inalum tersisa 122 juta dolar AS dari total utang sebesar 898 juta dolar AS yang tercatat pada tahun 2004 lalu. Sedangkan untuk tahun fiskal 2010 (31 Maret 2010–1 April 2011), utang (outstanding loan) Inalum diproyeksikan tinggal 34 juta dolar AS dan pada tahun fiskal 2011 utang tersebut tinggal 1 juta dolar AS.
Dalam itung-itungannya, jika pemerintah Indonesia menolak usul perpanjangan dan ingin mengambil alih Proyek Asahan, pemerintah harus membayar 60 persen dari total nilai buku atau senilai 762 juta dolar AS.
Kementerian BUMN juga pernah mengungkapkan ada empat BUMN yang disiapkan mengambil alih saham PT Inalum. Keempat BUMN itu, yakni PT Danareksa, Bahana Securitas, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan PT Antam.