REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah menargetkan penyerapan lebih dari 2,5 juta tenaga kerja di sektor energi hijau pada 2050. Langkah ini merupakan bagian dari strategi transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
“Kami mengharapkan pada 2050, pekerja di sektor energi hijau sudah lebih dari 2,5 juta. Dengan posisi seperti ini, akan ada peningkatan keahlian yang signifikan di bidang energi baru terbarukan,” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Yuliot menegaskan, transisi energi bukan sekadar soal menurunkan emisi, melainkan juga menciptakan ekosistem ekonomi baru. Dari pembangkit tenaga air, angin, biomassa, hingga panas bumi, seluruhnya diharapkan membuka peluang kerja di bidang prakontruksi, konstruksi, dan operasi pembangkit. “Ini juga bagian dari upaya meningkatkan kompetensi tenaga kerja kita,” ujarnya.
Saat ini, konsumsi energi Indonesia masih bergantung pada energi fosil. Produksi minyak mentah dalam negeri hanya sekitar 580 ribu barel per hari (bph), jauh di bawah konsumsi yang mencapai 1,6 juta bph. Kondisi serupa terjadi pada liquefied petroleum gas (LPG), sehingga Indonesia masih harus mengandalkan impor.
Di sisi lain, potensi EBT nasional sangat besar. Indonesia memiliki cadangan panas bumi sekitar 24 gigawatt (GW), sementara total potensi energi terbarukan diperkirakan mencapai 3.667 GW. Namun, pemanfaatannya baru sekitar 0,4 persen. “Ini ironinya, sumber daya kita melimpah, tapi belum kita manfaatkan secara optimal. Padahal, nilai tambahnya bisa sangat besar,” tutur Yuliot.
Pemerintah telah memulai sejumlah proyek strategis, termasuk integrasi panas bumi dengan hidrogen hijau serta menyiapkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama yang ditargetkan beroperasi pada 2032. Selain itu, kebijakan biodiesel B40 hingga B50 diproyeksikan mampu menghemat devisa hingga Rp 147 triliun per tahun dan menciptakan hampir 2 juta lapangan kerja di sektor on-farm maupun off-farm.
Pengembangan EBT juga diiringi pembangunan infrastruktur pendukung. Yuliot mengatakan, program BBM Satu Harga dan listrik desa ditujukan agar masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) mendapatkan akses energi yang adil. “Rasa keadilan masyarakat harus kita utamakan. Dari Sabang sampai Merauke, energi harus tersedia dan terjangkau,” ujarnya.
Kementerian ESDM memperkirakan kebutuhan investasi untuk percepatan pembangunan pembangkit EBT mencapai Rp 1.682 triliun sesuai RUPTL 2025–2034. Dari target tambahan 69,5 GW, sekitar 62 persen akan berasal dari energi baru terbarukan.
Lebih jauh, Yuliot mencontohkan transformasi di kawasan industri nikel Morowali dan Weda Bay, yang telah mengubah desa kecil menjadi kota industri dengan ratusan ribu pekerja. Fenomena serupa diharapkan terjadi di sektor energi hijau, seiring tumbuhnya ekosistem kendaraan listrik dan industri baterai dalam negeri.
View this post on Instagram