REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta pengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta melakukan kajian impor bahan bakar minyak (BBM) untuk 2026.
“Silakan melakukan analisis dari masing-masing SPBU swasta, disampaikan surat ke kami, akan kami jadikan kajian untuk kebijakan tahun 2026,” ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Laode Sulaeman di Kantor Ditjen Migas, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Laode menegaskan, arahan ihwal impor BBM untuk 2025 sudah jelas, yakni tidak ada impor tambahan untuk pengelola SPBU swasta. Ia meminta para pengelola SPBU swasta memenuhi kebutuhan BBM dengan melakukan sinkronisasi bersama Pertamina. Arahan tersebut akan ditegaskan lewat surat yang diterbitkan Ditjen Migas, berisi perintah kepada SPBU swasta untuk melakukan sinkronisasi.
“Nanti akan ada surat dari saya menyampaikan untuk sinkronisasi. Nanti, di sana (suratnya) ada sinkronisasi volume dan ada sinkronisasi spesifikasi,” kata Laode.
Untuk 2026, lanjut Laode, kajian impor BBM dari SPBU swasta dibutuhkan guna mencegah terulangnya kelangkaan BBM, seperti yang dialami Shell dan BP AKR sejak Agustus lalu.
“Kepada pengusaha, tolong masukannya untuk kami persiapkan kebijakan 2026. Kalau untuk yang sekarang (2025), tolong kita jalankan dulu,” ucapnya.
Kementerian ESDM sebelumnya memanggil Pertamina, Shell, BP, dan Vivo untuk rapat membahas impor BBM menyusul kelangkaan pasokan bensin di sejumlah SPBU swasta.
Laode menyampaikan, ini merupakan kali pertama rapat bersama seluruh SPBU swasta dan Pertamina digelar guna membahas impor BBM.
Sebagaimana mandat Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, Laode menegaskan bahwa pemerintah ingin menyesuaikan impor BBM antara Pertamina dan SPBU swasta.