Kamis 21 Aug 2025 19:04 WIB

Pendapatan DPR Tembus Rp100 Juta dan Bebas Pajak, Ekonom: Ini tidak Fair

Ekonom menilai fasilitas PPh DPR yang ditanggung negara melukai rasa keadilan.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan sederet fasilitas dari negara, termasuk di antaranya tunjangan pajak penghasilan (PPh). (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan sederet fasilitas dari negara, termasuk di antaranya tunjangan pajak penghasilan (PPh). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan sederet fasilitas dari negara, termasuk di antaranya tunjangan pajak penghasilan (PPh). Ekonom Center of Economic and Law Studies, Media Wahyudi Askar, menilai kebijakan fiskal tersebut tidak adil dari sisi keadilan perpajakan sehingga perlu diubah.

“Pada prinsipnya, pajak penghasilan ditanggung oleh wajib pajak. Namun, anggota DPR dalam praktiknya PPh mereka ditanggung oleh negara melalui tunjangan pajak. Jadi, secara administratif pajaknya dibayarkan negara, tetapi secara substansi dengan kata lain mereka tidak membayar pajak,” ungkap Ekonom Center of Economic and Law Studies, Media Wahyudi Askar, saat dihubungi Republika, Kamis (21/8/2025).

Baca Juga

Menurut Media, kebijakan tersebut tidak adil dari sisi keadilan perpajakan. Semestinya, tidak ada perbedaan bagi anggota DPR dengan wajib pajak lain yang harus membayar pajak. Ia membandingkan kebijakan di Indonesia dengan di negara lain, seperti Australia, di mana pejabat negaranya tetap harus membayar pajak, sama seperti warga negara pada umumnya.

“Ini mencederai prinsip keadilan juga sebab tunjangan-tunjangan, misalnya yang diterima anggota dewan, tidak dianggap penghasilan sehingga tidak dikenakan pajak. Beda dengan karyawan swasta yang setiap tunjangan harus dirupiahkan lalu dikenakan pajak. Ini jelas tidak adil dari prinsip keadilan pajak dan harus diubah,” ujarnya.

Media menegaskan, penggunaan uang negara atau uang rakyat untuk menunjang anggota dewan tidak sekadar masalah nominal, melainkan memberi dampak psikologis dan moral. Menurut dia, anggota DPR yang merupakan wakil rakyat seharusnya memberi teladan sebagai individu yang juga memiliki tanggung jawab membayar pajak.

“Kalau negara mencabut fasilitas ini, DPR dan pejabat negara memberi contoh mereka juga menanggung beban pajak sebagaimana masyarakat biasa. Ini bisa meningkatkan legitimasi politik sekaligus memperbaiki citra. Faktanya sekarang tidak demikian. Pejabat negara menerima begitu banyak tunjangan hingga ratusan juta, tetapi tidak membayar pajak sepenuhnya karena ditanggung negara. Ini jelas tidak adil,” tegasnya.

Diketahui, pendapatan anggota DPR menghebohkan publik karena adanya tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan. Secara keseluruhan, pendapatan resmi mereka lebih dari Rp100 juta per bulan. Hal ini menimbulkan polemik di tengah gembar-gembor pemerintah melakukan efisiensi anggaran.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement