Selasa 13 May 2025 09:20 WIB

Perang Dagang AS-China Reda, Ekonom: Peluang Emas Bagi Ekspor Indonesia

Penurunan tarif AS-China dinilai bisa dorong perluasan pasar Indonesia.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Bendera nasional China dan AS terlihat dipajang di luar toko suvenir di Beijing pada 31 Januari 2025.
Foto: AP Photo/Andy Wong

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menunjukkan kondisi mulai mereda, sehingga memberi dampak luas bagi perekonomian global. Ekonom menilai, kondisi itu perlu dimanfaatkan negara emerging market seperti Indonesia untuk semakin memperluas pasar ekspor.

“Kesepakatan dagang antara AS dan China yang diumumkan pada 12 Mei 2025 menandai titik balik penting dalam dinamika ekonomi global,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, dalam keterangannya, Senin (12/5/2025).

Baca Juga

Syafruddin mengatakan, kedua negara sepakat menurunkan tarif secara timbal balik dalam jangka waktu 90 hari, yang akan membuka jalan bagi deeskalasi konflik dagang. Konflik ini selama ini menciptakan ketidakpastian luas di pasar keuangan, memperlemah rantai pasok, dan mendorong lonjakan harga global. Kesepakatan tersebut tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral kedua negara adidaya itu, tetapi juga menciptakan efek berantai ke berbagai negara, termasuk Indonesia.

Menurut dia, keputusan dalam pertemuan di Jenewa mencerminkan kemajuan substansial dalam meredakan perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia. Dengan latar belakang tarif AS yang sebelumnya melonjak hingga 145 persen untuk produk China, dan pembalasan Beijing dengan tarif 125 persen, kesepakatan itu secara langsung menstabilkan ekspektasi pasar.

“Indonesia perlu memanfaatkan peluang dari penurunan ketegangan dagang ini untuk memperluas pasar ekspor dan memperkuat posisi tawar dalam rantai pasok global,” ungkap Syafruddin.

Ia menerangkan, dengan berkurangnya tekanan harga dari gangguan pasokan dan melonjaknya biaya produksi akibat tarif, dunia usaha Indonesia berpotensi mendapatkan akses yang lebih kompetitif ke pasar global.

“Dalam sektor manufaktur, peluang untuk meningkatkan ekspor ke China dan AS bisa terbuka jika kedua negara mulai mencari mitra dagang baru untuk menggantikan produk yang sebelumnya terkena tarif tinggi,” ujarnya.

Namun, di sisi lain, Syafruddin juga mengungkapkan bahwa Indonesia perlu waspada terhadap kemungkinan pembelokan arus perdagangan atau trade diversion. Ia menyebut, dengan normalisasi hubungan dagang AS-China, beberapa peluang ekspor yang selama ini mengalir ke Indonesia akibat disrupsi tarif bisa kembali direbut oleh China.

“Oleh karena itu, strategi negosiasi bilateral dan peningkatan daya saing domestik menjadi sangat penting untuk menjaga momentum perdagangan nasional,” tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement