Kamis 24 Jul 2025 18:10 WIB

RI Terus Nego AS, Ekspor Sejumlah Komoditas Didorong Bebas Tarif

Fokus utama negosiasi tertuju pada produk-produk yang tidak diproduksi di AS.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Satria K Yudha
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS) akan melanjutkan perundingan perdagangan pasca diumumkannya joint statement kedua negara. Salah satu pembahasan utama adalah potensi penghapusan tarif impor untuk sejumlah komoditas strategis Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, tarif untuk komoditas asal Indonesia berpeluang turun dari 19 persen menjadi mendekati nol persen. Fokus utama negosiasi tertuju pada produk-produk yang tidak diproduksi di AS seperti kelapa sawit, kopi, kakao, produk agro, serta komponen industri.

Baca Juga

“Termasuk juga komponen pesawat terbang dan produk industri tertentu di kawasan free trade zone. Itu sedang dalam pembahasan, dan dimungkinkan tarifnya mendekati nol persen,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Menurutnya, AS juga menilai perkembangan posisi Indonesia dalam perdagangan global. Salah satunya adalah keputusan Uni Eropa menetapkan tarif nol persen untuk minyak sawit mentah (CPO) Indonesia melalui kesepakatan IEU-CEPA. “Beberapa hal seperti itu juga menjadi benchmark,” kata Airlangga.

Ia menegaskan bahwa joint statement yang diumumkan AS pada 22 Juli lalu merupakan fondasi dari komitmen politik kedua negara menuju perjanjian dagang yang lebih luas. Indonesia, kata dia, akan segera menyusul untuk mengumumkan dokumen tersebut secara resmi.

“Diskusi akan berlanjut ke pembahasan teknis yang menyangkut kepentingan kedua negara,” ujarnya.

Airlangga juga menyoroti bahwa saat ini tarif impor AS terhadap Indonesia telah turun menjadi 19 persen, dari sebelumnya 32 persen.

Ia menyebut hal itu sebagai hasil perundingan panjang yang melibatkan pimpinan tertinggi kedua negara. Dibanding negara lain, posisi Indonesia dinilai lebih menguntungkan karena dikenai tarif lebih rendah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement