Jumat 18 Apr 2025 11:14 WIB

Indef Prediksi Penurunan Investasi Akibat Kekhawatiran Dampak Tarif AS

Kondisi FDI saat ini belum menunjukkan perbaikan signifikan.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyoroti kompleksitas efek kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap berbagai sektor. Manap menyebut kebijakan terbaru Trump mengenai penetapan tarif impor yang tinggi mengguncang ekonomi dunia.

"Kita tidak bisa hanya fokus menganalisis dampak kebijakan Presiden AS Donald Trump pada satu sektor," ujar Manap dalam diskusi publik Indef bertajuk "Perang Dagang dan Guncangan Pasar Keuangan" di Jakarta, Kamis (17/4/2025).

Baca Juga

Menurut Manap, perubahan kebijakan perdagangan global sangat menentukan arah strategi pelaku usaha dalam satu tahun ke depan. Hal ini berdampak langsung pada keputusan Foreign Direct Investment (FDI) yang berkaitan dengan produksi barang untuk pasar internasional.

"Perubahan kebijakan perdagangan merupakan sangat penting bagi investor atau pelaku usaha untuk melihat situasi 12 bulan ke depan," sambung Manap.

Sayangnya, lanjut Manap, kondisi FDI saat ini belum menunjukkan perbaikan signifikan karena ketatnya likuiditas global dan tingginya suku bunga acuan. Menurut Manap, investor mulai mengalihkan dananya dari pasar saham ke aset yang lebih aman seperti obligasi dan emas.

"FDI selama ini situasinya juga belum membaik karena adanya kondisi yang menggambarkan likuiditas global yang masih ketat," ucap Manap.

Manap memprediksi arus FDI ke Indonesia akan tetap rendah yang dipicu persepsi negatif investor terhadap efek kebijakan Trump. Salah satu indikatornya adalah pergeseran minat investor dan ketidakpastian ekonomi global yang berkelanjutan.

"FDI diprediksi akan rendah sejalan dengan memburuknya persepsi investor terhadap efek Trump," lanjut Manap.

Dalam konteks Indonesia, Manap sampaikan, FDI dari AS hanya menyumbang sekitar 3,7 miliar dolar AS atau menempati peringkat kelima pada 2024. Sementara Singapura masih menjadi penyumbang terbesar investasi langsung ke Indonesia.

"Kalau kita lihat dari porsi FDI Indonesia, yang terbesar adalah dari Singapura, sedangkan AS mencapai 3,7 miliar dolar AS," sambung Mabap.

Untuk itu, Manap menekankan pentingnya FDI dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembentukan modal dan penciptaan lapangan kerja. Manap mengatakan investasi asing dapat mendukung konsumsi rumah tangga dan menjadi solusi atas persoalan klasik perekonomian.

"FDI ini penting karena menjadi salah satu instrumen untuk menyerap tenaga kerja serta mendukung pertumbuhan ekonomi," ucapnya.

Manap juga mengingatkan ketidakpastian global diperparah oleh persoalan internal seperti tingginya ICOR, rendahnya kualitas SDM, dan minimnya inovasi birokrasi. Hal ini menambah tantangan dalam menarik investasi asing masuk.

Di sisi lain, sambung Manap, perkembangan pasar keuangan juga menunjukkan tekanan yang cukup besar, terutama dari indikator premi risiko. Manap menyampaikan Credit Default Swap (CDS) Indonesia mengalami kenaikan signifikan yang mencerminkan kekhawatiran investor.

"Awalnya CDS kita bergerak di 80, sementara pekan kedua April sudah hampir mencapai 120," lanjut Manap.

Menurut Manap, lonjakan CDS ini menandakan investor memerlukan kompensasi risiko lebih tinggi untuk menempatkan dananya di Indonesia. Hal ini bisa berdampak pada meningkatnya beban bunga dan menurunnya minat investasi.

"Ini menggambarkan investor sangat khawatir ketika ingin menempatkan dananya di Indonesia," kata Manap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement