REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden China Xi Jinping melakukan kunjungan ke tiga negara ASEAN pada Senin (14/4/2025) hingga Jumat (18/4/2025), seiring dengan kondisi tingginya eskalasi perang dagang dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Ketiga negara yang dikunjungi oleh Jinping yakni Vietnam, Kamboja, dan Malaysia, sedangkan Indonesia tidak.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, absennya Xi ke Indonesia dalam rangkaian lawatan itu menimbulkan sejumlah interpretasi.
Muncul pertanyaan di publik mengenai kenapa Indonesia yang merupakan mitra dagang terbesar China di kawasan Asia Tenggara, tidak menjadi bagian dari agenda tersebut. Padahal, posisi Indonesia sangat signifikan secara nilai perdagangan. Alih-alih menilai sebagai bentuk pengabaian, Achmad justru menilai di balik ada logika hubungan bilateral yang telah mencapai tahap kematangan antara Indonesia dan China.
Achmad menjelaskan, Xi Jinping memilih mengunjungi Vietnam, Malaysia, dan Kamboja karena ketiga negara tersebut memiliki posisi strategis masing-masing dalam konteks dinamika geopolitik dan ekonomi global. Terutama menghadapi tekanan proteksionisme dari Amerika Serikat.
Vietnam, sebagai pengimpor terbesar produk China di ASEAN, sedang menjalin negosiasi strategis dengan AS. Malaysia berada dalam ambiguitas arah kebijakan luar negeri, namun saat ini menunjukkan kecenderungan mendekat ke Beijing di bawah kepemimpinan PM Anwar Ibrahim. Sementara itu, Kamboja selama ini menjadi titik tumpu investasi infrastruktur China di bawah inisiatif Belt and Road (BRI).
“Lalu, di mana posisi Indonesia? Justru ketidakhadiran Xi Jinping ke Jakarta harus dibaca bukan sebagai pengabaian, melainkan sebagai simbol kepercayaan yang tinggi terhadap stabilitas dan kekuatan hubungan bilateral yang sudah mapan. Indonesia tidak lagi perlu diyakinkan atau dirayu oleh Beijing melalui simbolisme kunjungan kenegaraan,” ujar Achmad dalam keterangannya, dikutip Kamis (17/4/2025).
Achmad menuturkan, dalam terminologi hubungan internasional, hal itu mencerminkan level strategic partnership yang tidak memerlukan gestur simbolik berlebihan, karena sudah didasarkan pada kesalingpahaman yang kuat.
Di sisi lain, menurut Achmad, agenda lawatan luar negeri Presiden RI Prabowo Subianto sendiri begitu padat. Dalam 100 hari pertama masa jabatannya sebagai RI 1, Prabowo sudah menunjukkan komitmen diplomatik melalui kunjungan ke Timur Tengah. Prabowo juga disebut sudah memposisikan Indonesia sebagai pemain aktif dalam isu-isu global seperti krisis Gaza dan relasi multilateral Kerjasama Selatan-Selatan.
“Dengan agenda luar negeri yang padat, maka tidak aneh jika koordinasi waktu untuk kunjungan balasan dari pihak China menjadi sulit direalisasikan dalam waktu dekat. Sebaliknya, justru pertemuan-pertemuan bilateral antar pejabat tinggi dan teknokrat dari kedua negara terus berlangsung intensif,” tuturnya.
“Di balik layar, kerja sama ekonomi, energi, teknologi, hingga pertahanan tetap berjalan tanpa gangguan,” lanjut Achmad.
Ia menyebut, keberadaan proyek-proyek besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, investasi pada energi baru-terbarukan, serta kemitraan dalam pengembangan kawasan industri strategis, telah menunjukkan bahwa hubungan RI-China tidak mengalami friksi sedikit pun.
“Tidak ada penurunan intensitas atau sinyal ketegangan,” kata dia.
Achmad menekankan, ketidakhadiran Xi Jinping justru menjadi momen yang menunjukkan bagaimana Beijing menghormati kedaulatan dan dinamika internal Indonesia. Menurutnya, tidak ada kesan intervensi atau keinginan untuk mencuri perhatian publik Indonesia yang sedang fokus pada transisi pemerintahan. Hal itu menurutnya menandakan pendekatan yang lebih dewasa dalam diplomasi China, yang mengedepankan kepercayaan sebagai fondasi kerja sama.
Lantas, Achmad justru mengomparasikan kondisi hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat dan Eropa. Hubungan dagang dan politik Indonesia dengan negara-negara bagian tersebut tengah menghadapi tantangan yang lebih besar. Seperti, isu deforestasi, diskriminasi produk kelapa sawit, dan ketidakadilan dalam rezim perdagangan karbon, itu menunjukkan bahwa relasi dengan Barat tidak selalu berjalan harmonis.
“Di sinilah keunggulan pendekatan China terlihat yakni pragmatis, tidak menggurui, dan berbasis kepentingan bersama jangka panjang. Jadi, absennya Xi Jinping dalam kunjungan ke Indonesia bukanlah pertanda pelemahan hubungan, melainkan indikasi kedalaman relasi yang tak memerlukan validasi publik,” jelasnya.
Achmad berpendapat bahwa Indonesia sudah menjadi mitra strategis yang dipandang stabil dan kredibel dalam kaca mata Beijing. Diplomasi Prabowo yang dinilai aktif dan fleksibel justru membuka ruang yang lebih luas untuk interaksi bilateral yang lebih substansial dan tidak semata berbasis seremoni.
Menurutnya, hal itu merupakan cerminan relasi dua negara besar di Asia yang saling memahami, saling membutuhkan, dan saling mempercayai. “Dengan kata lain, dalam diplomasi tingkat tinggi, ketidakhadiran pun bisa bermakna kehadiran yang penuh makna,” tutupnya.