REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Frederikus Dominggus Bata
Peristiwa bangkrutnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menguak kusutnya kondisi dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Bahkan, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengatakan, kondisi industri TPT Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sekretaris Eksekutif APSyFI, Farhan Aqil Syauqi menilai, kondisi buruk ini terlihat dengan pabrik ditutup dan merebaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Penutupan Sritex memicu PHK karyawan mencapai sekitar 10 ribu orang. Sementara, fenomena tersebut berlanjut juga pada perusahaan lain seperti PT Yihong di Cirebon yang tutup dan melakukan PHK terhadap 1.126 buruh. Tantangan juga belum berakhir karena kini industri tekstil semakin dihantui ketidakpastian akibat tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
"Jadi, memang kondisinya belum pulih. Jika ditanya kenapa seperti itu? Karena gempuran barang impor," ujar Farhan kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Farhan menjelaskan, kondisi itu bisa dilihat dari posisi neraca perdagangan Indonesia di sektor TPT. Dia mengatakan, gempuran barang impor menjadi semakin masif sejak 2020. Dia memperhitungkan ada kenaikan 30 persen hingga 2024.
Uniknya, kata Farhan, neraca perdagangan di sektor TPT secara nilai masih terjadi surplus. Akan tetapi, menurut Farhan, hal itu karena ekspor produk dari Indonesia bernilai tinggi, sementara terjadi importasi produk dengan nilai murah. Keadaan demikian, ungkap Farhan mempertegas adanya praktik predatory pricing atau dumping.
"Makanya kita tidak bisa kompetitif. Teman-teman bisa ke Tanah Abang. Tawar satu kain untuk sprei, bisa dapat dengan harga Rp 8.000. Sedangkan industri dalam negeri Rp 20.000, itu pun baru ongkos produksi," tutur Farhan.
Persoalan maraknya produk impor dari China ini juga diamini oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (GPEI) Benny Soetrisno turut berbicara mengenai industri tekstil produk tekstik (TPT) dalam negeri saat ini. Ia juga pengusaha di sektor tersebut.
Benny menilai, para pelaku industri TPT secara umum masih banyak yang mengalami kerugian. Hal ini kemudian memicu adanya pengurangan kapasitas produksi. Bahkan, ada yang sampai menutup usahanya.
Lalu, sejak kapan permasalahan di industri TPT dalam negeri bermunculan? Dia mencatat, kontraksi pada industri TPT terjadi sejak 2018. Penyebabnya, menurut Benny, banyak produk TPT dari China yang masuk ke pasar Indonesia melalui praktik ilegal.
"Baik selundup secara fisik atau masuk mengubah dokumen dengan HS number yang bea masuknya lebih kecil," kata Benny.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan turut mengakui bahwa impor ilegal membuat industri TPT di Indonesia menjadi tertekan. Padahal, dia mengungkapkan potensi besar dalam sektor ini yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sehingga, Luhut menegaskan, pemerintah akan merumuskan perlindungan pasar dalam negeri dari impor ilegal untuk menjadi perhatian utama.
"Kapasitas produksi berlebih di China akibat tarif AS telah mendorong mereka mengalihkan ekspor ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini perlu diwaspadai. Namun, jangan sampai kemudian impor bahan baku atau material yang dipakai untuk produksi juga malah ikut terhambat,” tegas Purnawirawan Jenderal Bintang Empat itu.
Luhut mengatakan, industri TPT dan alas kaki tetap menjadi sektor strategis bagi ketahanan ekonomi dan sosial Indonesia. Di tengah tantangan global dan kabar pemutusan hubungan kerja (PHK), sektor ini justru memiliki potensi besar untuk berkembang dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia mengakui banyak yang pesimis terhadap industri ini. Ada pihak yang menganggapnya sebagai industri yang sudah ditinggalkan atau sunset. Namun, DEN berpandangan lain.
"Kami melihatnya sebagai sektor strategis yang menyerap hampir empat juta tenaga kerja, dengan pakaian jadi menyerap 2,9 juta di antaranya. Industri ini juga berperan penting dalam mendukung sektor usaha kecil dan mikro, terutama makanan dan minuman,” ujar Luhut.
