Ahad 13 Apr 2025 10:04 WIB

Industri Baja Was-was Ancaman Tarif AS dan Pembukaan Kuota Impor

Industri baja nasional tidak mampu bersaing dengan baja murah China.

Rep: M Nursyamsyi/ Red: Indira Rezkisari
Pabrik baja (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pabrik baja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) atau Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia menyatakan kekhawatiran atas dampak tidak langsung dari kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap industri baja nasional. Meski ekspor baja Indonesia ke AS relatif kecil, Ketua Umum IISIA Akbar Djohan memperingatkan risiko membanjirnya produk baja China ke pasar domestik berpotensi memicu penutupan pabrik dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Akbar menjelaskan kebijakan proteksionis AS tidak secara langsung memukul industri baja Indonesia, mengingat ekspor ke AS hanya berkontribusi sekitar 18 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) sektor baja. Namun, kebijakan tersebut berisiko mengalihkan arus baja Cina dan negara lain ke pasar Indonesia.

Baca Juga

"Dampak tarif AS tidak langsung pada kita, tapi yang harus diantisipasi adalah bagaimana produk-produk yang seharusnya masuk ke AS akan mencari pasar lain, termasuk Indonesia," ujar Akbar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (13/4/2025).

Akbar membandingkan kapasitas produksi yang timpang. Akbar menjelaskan kapasitas produksi baja Indonesia hanya sekitar 20 juta ton baja atau jauh tertinggal dengan China yang mencapai 1,2 miliar ton baja.

"Jika tidak ada perlindungan maksimal dari pemerintah, industri kita bisa kolaps," ucap Akbar.

IISIA, lanjut Akbar, menegaskan industri baja nasional tidak mampu bersaing dengan gempuran impor murah, terutama dari China. Akbar menekankan pentingnya intervensi pemerintah untuk menjaga keseimbangan pasar dan rantai pasok dalam negeri.

"Yang dikhawatirkan, kalau tidak ada perlindungan maksimum, industri akan menutup pabrik dan melakukan PHK massal. Ini bisa mengganggu stabilitas sosial dan keamanan," lanjut Akbar.

Akbar menambahkan, kekhawatiran ini semakin mengemuka menyusul rencana pemerintah membuka kuota impor baja. Menurut IISIA, kebijakan tersebut berisiko memperparah persaingan tidak sehat dan memaksa industri dalam negeri melakukan efisiensi, termasuk PHK.

Akbar menyerukan langkah-langkah konkret pemerintah, seperti penguatan pengawasan impor dan insentif bagi produsen lokal, untuk melindungi industri baja nasional. IISIA, sambung Akbar, juga mendorong kolaborasi dengan pelaku industri untuk meningkatkan daya saing melalui inovasi dan efisiensi.

"Kita tidak bisa mengontrol rantai pasok global, tapi pemerintah harus memastikan keseimbangan antara pasokan dalam negeri dan keberlangsungan industri," kata Akbar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement