REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Amerika Serikat (AS) resmi menerapkan kebijakan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Keputusan Donald Trump memicu lonjakan inflasi jangka pendek.
Chief Investment Officer DBS Bank Hou Wey Fook memperkirakan Bank Sentral (The Fed) tetap akan memangkas suku bunga demi menopang pertumbuhan ekonomi. Ia menyebut kebijakan suku bunga AS tidak akan berbalik arah meskipun tekanan harga meningkat.
“Terkait obligasi, meskipun ada perkiraan lonjakan inflasi akibat tarif ini, kami melihat The Fed tidak akan membalikkan panduannya yang sekarang, yaitu menurunkan suku bunga,” ujar Hou dalam media briefing DBS Chief Investment Officer (CIO) Insights bertajuk “Resilience Amid Tariffs” yang diikuti secara daring, Rabu (9/4/2025) sore.
Menurut DBS, The Fed biasanya fokus pada dua hal utama yakni menjaga harga tetap stabil dan menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin. Namun, karena kondisi ekonomi yang melambat saat ini, perhatian The Fed kemungkinan besar akan lebih tertuju pada upaya mencegah ekonomi makin melemah.
“Karena mandat ganda The Fed—menjaga stabilitas harga dan mendorong lapangan kerja maksimum—kami percaya The Fed akan lebih memprioritaskan yang kedua, yaitu menangani pelemahan ekonomi," kata dia.
Hou menjelaskan, meskipun waktu pemangkasan bisa sedikit mundur karena inflasi, arah kebijakan tetap menuju pelonggaran. Hal ini didukung oleh perbedaan tingkat suku bunga AS yang masih jauh lebih tinggi dibanding negara lain.
“Waktu pemangkasan suku bunga mungkin mundur sedikit karena lonjakan inflasi ini, tetapi kami tetap berpegang pada posisi The Fed, yang akan melihat melampaui masa transisi inflasi ini," ungkapnya.
“Dan karena tingkat suku bunga AS saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain, kami pikir ada ruang untuk penurunan suku bunga di AS, dan untuk hal-hal lainnya juga menurun," tambahnya.
Hou juga menyinggung potensi terulangnya skenario tahun 2019, saat kebijakan tarif Trump menyebabkan ekonomi AS melemah dan The Fed merespons dengan pemangkasan agresif. Hal itu kemudian mendorong imbal hasil obligasi ke dua digit.
“Kami menyatakan bahwa bisa saja terjadi pengulangan tahun 2019 pasca tarif Trump 1.0, yang pada waktu itu menyebabkan The Fed memangkas suku bunga karena ekonomi melemah akibat tarif tersebut. Dan akibat pemangkasan suku bunga yang agresif saat itu, kami menyaksikan imbal hasil dua digit pada tahun 2019," tuturnya.
Menurut DBS, tren serupa mulai terlihat pada 2025, dengan kinerja obligasi berbagai kelas termasuk AT1, investment grade, dan high yield menunjukkan arah imbal hasil yang menguat.
Dalam panduan investasinya, DBS tetap merekomendasikan obligasi berkualitas tinggi. Portofolio disarankan terbagi antara durasi pendek (1–3 tahun) sebagai alternatif tunai dan durasi panjang (8–10 tahun) untuk menangkap imbal hasil lebih tinggi dari penajaman kurva imbal hasil.
“Dalam hal durasi, kami tetap menyarankan portofolio berada di ujung yang sangat pendek 1 hingga 3 tahun sebagai alternatif tunai yang baik untuk mengunci imbal hasil, tetapi juga memiliki obligasi jangka panjang 8 hingga 10 tahun, karena pada jangka panjang, Anda bisa mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi," sarannya.