REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, menyatakan bahwa Indonesia perlu bersiap menghadapi dampak lanjutan dari konflik antara Iran dan Israel. Meskipun tidak berdampak langsung, konflik tersebut berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi global.
“Konflik ini dapat memengaruhi sektor energi, perdagangan, hingga fiskal nasional,” ujar Ahmad dalam diskusi publik INDEF bertajuk Dampak Perang Iran–Israel terhadap Perekonomian Indonesia, di Jakarta, Ahad (29/6/2025).
Ahmad menjelaskan, Iran merupakan negara dengan cadangan minyak terbesar ketiga di dunia. Gangguan pasokan minyak, terutama jika disertai penutupan Selat Hormuz, bisa menyebabkan lonjakan harga minyak global. “Negara-negara pengimpor seperti Jepang dan Eropa akan terkena dampak terlebih dahulu. Ekspor minyak Timur Tengah sebagian besar ditujukan ke China, India, dan Eropa,” kata Ahmad.
Berdasarkan simulasi menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP), Ahmad memproyeksikan konflik Iran–Israel bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,005 persen. Angka ini mungkin terlihat kecil, namun bisa membesar jika negara mitra dagang utama seperti China dan Jepang ikut terdampak.
Dalam proyeksi tersebut, pertumbuhan ekonomi China diperkirakan turun 0,037 persen, dan Jepang 0,048 persen.
Ahmad menambahkan, Indonesia juga berpotensi mengalami penurunan volume impor untuk sejumlah komoditas seperti hasil pertanian, pangan olahan, logam, tekstil, hingga petrokimia dan manufaktur berat.
Lonjakan harga minyak dan gas turut mengerek biaya input produksi, yang dapat melemahkan daya saing ekspor nasional. Dalam situasi ini, Ahmad menilai, pemerintah perlu segera mengambil langkah antisipatif jangka pendek. “Prioritas utama adalah menjaga stabilitas harga BBM dan LPG. Mekanisme subsidi harus diperkuat agar daya beli tetap terjaga dan inflasi tidak melonjak,” ujarnya.
Ahmad juga menyarankan diversifikasi sumber impor energi dengan mengalihkan dari negara-negara konflik ke negara non-konflik seperti di kawasan ASEAN atau Australia.
Strategi lain adalah memperluas dan mendiversifikasi rantai pasok industri agar tidak terlalu tergantung pada wilayah tertentu. “Termasuk mendorong investasi pada industri hulu seperti pupuk, bahan bakar alternatif, dan barang intermediate untuk kebutuhan industri dalam negeri,” tambahnya.
Ahmad mengingatkan pentingnya pemetaan sektor yang paling terdampak, seperti manufaktur dan pertanian, agar stimulus dan kebijakan perlindungan dapat diarahkan secara tepat.