REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan penetrasi produk perikanan Indonesia di pasar Amerika Serikat (AS) dalam perundingan perdagangan. Hal ini dinilai penting agar produk perikanan Indonesia tetap bisa bersaing.
Pada akhir pekan lalu, Pemerintah Indonesia menyatakan bakal terus menjalin komunikasi dengan United States Trade Representative (USTR), US Chamber of Commerce, dan negara mitra lainnya untuk merumuskan langkah strategis dalam merespons kebijakan tarif resiprokal pemerintah Presiden Donald Trump.
Pemerintah juga melakukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk memastikan setiap kebijakan yang diambil mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh dan selaras dengan kepentingan nasional. Pemerintah menegaskan Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi atas kebijakan tarif dagang AS dan memilih untuk menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengatakan, selain mempertahankan penetrasi produk perikanan pemerintah juga harus melakukan diversifikasi pasar ekspor produk perikanan ke negara-negara lain yang potensial. Ia mengatakan perundingan-perundingan perdagangan baru harus lebih intensif dilakukan secara setara dan saling menguntungkan.
"Keunggulan Indonesia dalam kepemilikan sumber daya perikanan yang sangat besar, harus disertai dengan peningkatan inovasi pengetahuan dan teknologi sehingga menjadi lebih kompetitif," kata Dani dalam pernyataannya, Selasa (8/4/2025).
Dani mencatat produk boga bahari Indonesia memiliki pasar yang tidak kecil di AS. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada Maret 2025, negara tujuan ekspor perikanan selama 2024 yakni Amerika Serikat dengan nilai 1,90 miliar dolar AS atau setara dengan 32,0 persen total nilai ekspor perikanan Indonesia.
Pada 2024, komoditas krustasea hidup, segar, atau dipelihara (HS 0306) berada pada urutan ke-8 dari 10 komoditas utama ekspor Indonesia ke AS dengan nilai mencapai 0,7 miliar dolar AS. Produk udang Indonesia juga berada pada posisi yang cukup baik dalam ekspor udang beku dan olahan ke AS.
Untuk udang beku, rasio ketergantungan (ekspor ke AS terhadap total ekspor Indonesia) mencapai 82,5 persen. Dani mengatakan data ini menggambarkan berharganya kelonggaran tarif bagi ekspor produk udang dari Indonesia.
Dani mengatakan posisi Indonesia masih kalah dari negara-negara kompetitor utama seperti Ekuador, India, dan Vietnam. Ekuador dan India bahkan dikenakan tarif resiprokal yang lebih ringan, masing-masing 10 persen dan 26 persen, sementara Vietnam 46 persen. Meski demikian, menurut Dani tampaknya Vietnam akan mendapatkan kesepakatan yang cukup baik pasca komunikasi cepat dan agresif antara Perdana Menteri Vietnam dengan Donald Trump beberapa waktu lalu.
"Selain tekanan dari pengenaan tarif yang tinggi, produk udang Indonesia dinilai semakin tidak kompetitif. Berdasarkan pengakuan para pelaku budidaya dan industri udang dalam negeri, Indonesia selama ini masih bergulat pada isu tuduhan dumping dari AS dan penurunan produksi akibat penyakit udang," kata Dani.
Menurut Dani, di luar pasar AS, Indonesia masih bisa mengoptimalkan ekspor udang ke negara lain, seperti Jepang, Cina, Taipei, dan Malaysia yang selama ini menjadi tujuan utama ekspor udang beku, termasuk pengembangan ke pasar Eropa seperti Spanyol dan Prancis.
"Pemerintah Indonesia juga harus segera mengeksekusi kerja sama perdagangan yang lebih kongkret untuk mengakselerasi ekspor ke pasar Inggris, Belanda, Denmark dan Jerman untuk produk udang olahan," katanya.
Dani mengatakan Indonesia berpeluang meningkatkan pasar komoditas udang olahan di pasar global mengingat kontribusinya masih sekitar 12,29 persen dari kebutuhan pasar global.
Dani menambahkan produk perikanan lainnya yang berpotensi terdampak kenaikan tarif impor AS adalah TCT (Tuna-Cakalang-Tongkol). Pada 2023, total produksi TCT Indonesia mencapai 1,57 juta ton, dengan dominasi produksi pada ikan tongkol. Proporsi ekspor pada 2023 mencapai 13 persen, dengan dominasi produk terbesar adalah TCT beku. Sisanya, yakni 87 persen diserap di dalam negeri dan diolah menjadi produk turunan atau dikonsumsi langsung.
Negara-negara tujuan ekspor TCT Indonesia, antara lain, Amerika Serikat 22 persen, ASEAN 19,6 persen, Jepang 18,90 persen, Timur Tengah 13,80 persen dan Uni Eropa 10,90 persen. "Selama ini Indonesia menikmati tarif yang cukup rendah bahkan hingga 0 persen pada produk tuna hidup, beku, dan fillet di pasar AS. Sebaliknya, Uni Eropa mengenakan tarif yang relatif tinggi, yaitu sebesar 16-20 persen. Bahkan pasar Uni Eropa juga banyak membuat hambatan-hambatan non tarif seperti persyaratan sertifikasi mutu dan sebagainya," kata Dani.