Selasa 08 Apr 2025 08:32 WIB

Pengamat: Indonesia Punya Aset Besar untuk Negosiasi dengan Trump Terkait Kebijakan Tarif

Kebijakan tarif jadi momentum Indonesia menegaskan posisi sebagai mitra strategis AS.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Keputusan Trump menetapkan tarif yang tinggi haruslah menjadi pemantik bagi Indonesia untuk segera merumuskan strategi tandingan yang cerdas. (ilustrasi)
Foto: AP Photo/Matt Rourke
Keputusan Trump menetapkan tarif yang tinggi haruslah menjadi pemantik bagi Indonesia untuk segera merumuskan strategi tandingan yang cerdas. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia tengah merancang proposal negosiasi sebagai respons atas kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) mengenai pengenaan tarif sebesar 32 persen bagi produk Indonesia. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat berpendapat, proposal tersebut haruslah dirancang secara cerdas dengan memuat kerangka negosiasi ‘give and take’

“Respons Indonesia haruslah terkalkulasi, tidak sekadar reaktif meniru langkah negara lain. Fokus utama harus tetap pada bagaimana mengonversi keunggulan unik menjadi daya tawar konkret dalam sebuah kerangka negosiasi ‘beri dan ambi’ (give and take) yang dirancang secara cerdas dan spesifik,” ujar Achmad dalam keterangannya, dikutip Selasa (8/4/2025). 

Baca Juga

Achmad mengatakan, keputusan Trump menetapkan tarif yang tinggi haruslah menjadi pemantik bagi Indonesia untuk segera merumuskan strategi tandingan yang cerdas, proaktif, dan menegaskan posisi tawar fundamental. 

“Sebab, di balik angka tarif 32 persen yang memberatkan itu, Indonesia masih menggenggam aset-aset strategis, mulai dari kekayaan mineral kritis yang vital bagi industri AS, pasar domestik yang besar, hingga signifikansi geopolitik di Indo-Pasifik,” ujarnya. 

Menurutnya, jika potensi-potensi itu dikelola dan dinegosiasikan dengan tepat, tetap membuka peluang untuk memitigasi dampak terburuk dan mencari celah kesepakatan baru yang lebih adil, hingga pada akhirnya pun saling menguntungkan. 

Untuk menciptakan ‘win-win solution’, Achmad menerangkan perlunya Indonesia untuk memahami filosofi di balik potensi kebijakan tarif Trump. Ia menyebut, pendekatan ‘American First’ cenderung melihat perdagangan internasional sebagai arena zero-sum-game yang mana keuntungan satu pihak dianggap kerugian bagi pihak lain. 

Fokusnya adalah pada neraca perdagangan, penciptaan lapangan kerja di dalam negeri, dan pengamanan rantai pasok untuk industri strategis. Adapun kebijakan tarif adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dengan memaksa mitra dagang memberikan konsesi atau menghadapi hambatan masuk ke pasar AS. 

“Meskipun pendekatan ini tampak konfrontatif, ia juga membuka celah bagi negara seperti Indonesia,” ungkapnya. 

Pemerintahan Trump, secara historis, menunjukkan preferensi pada kesepakatan bilateral yang bersifat transaksional dan memberikan keuntungan nyata bagi AS. Hal itu berarti, jika Indonesia mampu menunjukkan bahwa kerja sama ekonomi dengannya memberikan nilai strategis signifikan bagi AS –melampaui sekadar angka defisit perdagangan–, ruang negosiasi untuk menghindari atau memitigasi dampak tarif akan terbuka lebar. 

“Tantangannya adalah mengubah persepsi dari sekadar 'pengekspor barang murah' menjadi 'mitra strategis yang krusial',” tuturnya. 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Kekayaan Sumber Daya Mineral Kritis 

Achmad menilai salah satu aset paling berharga yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan sumber daya mineral kritisnya. Sumber daya kritis tersebut bisa menjadi kartu truf utama.  

Ia menerangkan, di tengah tren global transisi energi hijau dan persaingan teknologi, mineral seperti nikel, kobalt, dan timah menjadi komoditas yang sangat vital. AS, dalam upayanya mengurangi ketergantungan pada China untuk pasokan mineral-mineral kritis, dan mendorong industri kendaraan listrik serta teknologi canggih di dalam negeri, memiliki kebutuhan mendesak akan sumber pasokan alternatif yang stabil dan bersahabat.

“Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia dan pemain signifikan dalam rantai pasok timah dan kobalt, berada dalam posisi unik untuk menawarkan solusi. Ini bukan sekadar menjual bahan mentah, melainkan peluang membangun kemitraan strategis dalam pengembangan rantai pasok mineral kritis yang terintegrasi, mulai dari hulu hingga hilirisasi,” jelasnya. 

Sebagai contoh, Indonesia bisa secara proaktif menawarkan paket investasi terintegrasi di sektor baterai kendaraan listrik, memberikan kemudahan bagi perusahaan AS untuk berinvestasi di smelter nikel atau pabrik baterai, dengan jaminan pasokan bahan baku dan insentif fiskal. 

Dan sebagai ganjarannya, Indonesia meminta agar produk turunan nikel tersebut dan atau beberapa produk ekspor andalan lainnya, misalnya tekstil berkualitas tinggi atau furnitur dengan desain unik, mendapatkan tarif preferensial atau dibebaskan dari tarif tambahan. 

Contoh lain, memfasilitasi impor produk pertanian atau teknologi kesehatan AS yang dibutuhkan pasar Indonesia dapat ditukar dengan perlakuan serupa untuk produk perikanan atau kerajinan Indonesia di pasar AS.

Penting juga untuk mempercepat upaya diversifikasi pasar ekspor, seperti melalui penyelesaian perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA) dengan Uni Eropa atau pasar potensial lainnya. Semakin kecil ketergantungan Indonesia pada pasar AS, semakin kuat posisi tawarnya dalam negosiasi bilateral. 

Achmad menekankan menawarkan akses preferensial, jaminan pasokan jangka panjang, serta iklim investasi yang kondusif bagi perusahaan AS untuk terlibat dalam pengolahan mineral di Indonesia dapat menjadi daya tawar yang sangat kuat. 

“Sebagai imbalannya, Indonesia dapat meminta perlakuan tarif yang lebih ringan atau bahkan pengecualian untuk produk ekspor lainnya. Posisi ini harus dimainkan secara proaktif, bukan reaktif, menunjukkan bahwa Indonesia adalah bagian dari solusi strategis Amerika, bukan sekadar negara pengekspor komoditas,” ujar dia.

Achmad melanjutkan, selain memiliki kekuatan sumber daya mineral kritis, Indonesia juga memiliki dua aset strategis lainnya, yakni ukuran pasar domestiknya yang besar dan posisi geopolitiknya yang sentral di kawasan Indo-Pasifik.

Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan kelas menengah yang terus tumbuh, Indonesia adalah pasar yang sangat menarik bagi produk-produk unggulan Amerika, mulai dari teknologi, farmasi, produk pertanian, hingga jasa. 

“Menawarkan kemudahan akses pasar bagi produk-produk AS ini, misalnya melalui penyederhanaan regulasi impor untuk sektor-sektor tertentu yang diminati AS, bisa menjadi bagian dari paket negosiasi ‘beri dan ambil’,” kata dia. 

Adapun, secara geopolitik, di tengah meningkatnya rivalitas AS-China, peran Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pemimpin de facto Asean, dan negara dengan posisi strategis yang mengangkangi jalur pelayaran vital, tidak dapat diabaikan. 

AS membutuhkan mitra yang stabil dan kooperatif di kawasan ini untuk menjaga keseimbangan kekuatan, memastikan kebebasan navigasi, dan mempromosikan tatanan regional yang terbuka dan berbasis aturan. 

“Menawarkan peningkatan kerja sama di bidang keamanan maritim, kontra-terorisme, atau bahkan fasilitasi bagi investasi infrastruktur strategis AS sebagai bagian dari kerangka Indo-Pasifik dapat menambah bobot daya tawar Indonesia dalam negosiasi ekonomi,” terang Achmad. 

Achmad menegaskan, dengan strategi yang tepat, ancaman tarif justru bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk menegaskan posisinya sebagai mitra strategis yang setara dan tak terhindarkan bagi AS, membuka jalan bagi hubungan ekonomi yang lebih kuat, dan saling menguntungkan di masa depan. 

“Indonesia memiliki kartu yang bagus, kini saatnya memainkannya dengan cerdas,” tutupnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement