REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan, diplomasi dagang menjadi langkah utama untuk menghadapi rencana tarif impor yang dikenakan Amerika Serikat (AS) terhadap produk perikanan Indonesia. Ia menyatakan, ekspor produk kelautan ke AS cukup besar sehingga perlu langkah cepat agar tidak berdampak pada pelaku usaha dan tenaga kerja.
“Ya, salah satunya kita memberikan usulan ke Menko ya, artinya kita harus ada diplomasi. Artinya seperti yang disampaikan Bapak Presiden kan bagus. Artinya kita juga nggak boleh kalah sama Vietnam,” ujar Trenggono dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Ia menilai negosiasi langsung merupakan satu-satunya cara yang bisa diambil pemerintah untuk menjaga hubungan dagang tetap seimbang, seperti yang telah disampaikan Presiden RI Prabowo Subianto sebelumnya.
“Memang cara satu-satunya negosiasi. Lalu yang kedua langkah yang dikatakan Presiden tadi bahwa surplusnya kita beli untuk yang lain, harapannya kan bisa kembali ke normal. Tapi itu head to head negosiasi menurut saya,” ujarnya.
Selain upaya jangka pendek lewat diplomasi, Trenggono mengatakan pemerintah juga menyiapkan strategi jangka panjang, yakni memperkuat pasar domestik agar sektor perikanan tidak terlalu bergantung pada ekspor.
“Tapi di sisi lain sebagai langkah jangka panjang kan tentu kita juga ingin memperkuat konsumsi dalam negeri, jadi dalam negeri lah yang harus diperkuat supaya nanti marketnya kita tidak tergantung. Itu salah satu program yang akan kita jalankan," terangnya.
Ia menambahkan, hingga saat ini belum ada laporan resmi dari pelaku usaha mengenai dampak kebijakan tarif baru tersebut. Namun, KKP telah melakukan langkah antisipatif dan tengah merancang strategi menghadapi kondisi ini.
“Artinya langkah-langkah apa saja yang harus kita lakukan, kita sedang merancang betul karena ini kejadiannya baru beberapa hari,” ujarnya.
Trenggono juga menyoroti besarnya beban tarif yang dikenakan kepada konsumen di Amerika Serikat. Menurutnya, beban 32 persen bisa berdampak signifikan terhadap permintaan ekspor dari Indonesia.
“Ekspornya tidak dijegal, tetapi konsumen AS dikasih beban 32 persen, itu besar, besar sekali,” ujarnya.
