REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menyebut rencana Presiden Prabowo Subianto menghapuskan kuota impor berisiko besar mempercepat kerusakan ekonomi nasional jika tidak dikawal dengan regulasi yang super ketat. Andry menilai pernyataan Prabowo jika diterjemahkan menjadi kebijakan terbuka tanpa kontrol, sama saja dengan mengundang banjir produk asing di tengah pasar domestik yang rapuh.
“Kita harus jujur, beberapa tahun terakhir saja, kita sudah dihantam habis-habisan oleh krisis overcapacity dan perlambatan ekonomi Cina. Produk-produk murah, bahkan yang ilegal, masuk ke pasar kita dengan sangat mudah. Kalau sekarang kita malah lepas rem, gelombang barang murah ini bisa jadi tsunami bagi industri lokal,” ujar Andry dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Selasa (8/4/2025) lalu.
Andry menyoroti industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan yang saat ini sedang menghadapi gelombang PHK besar-besaran. Andry menilai industri-industri tersebut akan semakin tertekan apabila keran impor dibuka secara bebas.
"PHK yang sudah besar akan makin meluas. Ujungnya, daya beli masyarakat juga ikut runtuh karena masyarakat kehilangan pendapatan," sambung Andry.
Presiden minim sense of urgency
Menurut Andry, efek domino ini sangat berbahaya. Tanpa daya beli, konsumsi rumah tangga sebagai tulang punggung perekonomian nasional ikut melemah. "Ekonomi kita masuk ke lingkaran setan. Industri jatuh, konsumsi lesu, investor kabur, ekspor lemah, impor merajalela. Ini jelas krisis struktural," lanjut Andry.
Andry menilai pernyataan Prabowo mencerminkan minimnya sense of urgency dan absennya panduan ekonomi yang jelas. Andry mengatakan kebijakan tersebut kontradiktif dengan upaya pemerintah membangun kemandirian ekonomi.
"Arahnya ke mana sebenarnya? Di satu sisi kita gembar-gemborkan swasembada pangan, energi, dan hilirisasi, tapi di sisi lain kita justru membuka keran impor sebebas-bebasnya. Ini kontradiksi terang-terangan," ucap Andry.
Andry memperingatkan dampak buruk pembukaan impor secara masif bagi iklim investasi. Andry menyebut kebijakan tersebut justru akan semakin membuat enggan para investor mendirikan pabrik dan produksi di Indonesia. "Kalau pasar domestik dibanjiri impor murah, logika investor sederhana, buat apa bangun pabrik di sini? Lebih murah ekspor dari negara mereka sendiri atau dari kawasan lain yang lebih kompetitif," sambung Andry.
Dari sisi eksternal, Andry menilai neraca perdagangan memperjelas kekhawatiran ini. Dalam tiga tahun terakhir, meski masih surplus, namun surplus dagang Indonesia terus menyusut dari 54,5 miliar dolar AS di 2022, menjadi 37 miliar dolar AS di 2023, dan turun lagi ke 31 miliar dolar AS pada 2024 yang membuat Indonesia akan kembali masuk ke defisit perdagangan.
"Ekspor kita ditekan tarif Trump, impor kita buka liar, cadangan devisa makin terkuras, rupiah tertekan. Ini resep menuju krisis, bukan jalan keluar dari tekanan tarif Trump," lanjut Andry.
Andry menilai kebijakan ini tidak bisa dibiarkan menjadi kebijakan liar tanpa kendali. Andry berharap ada regulasi yang tegas, selektif, dan berpihak pada kepentingan nasional. "Kalau tidak, kita bukan hanya bicara soal industri lumpuh atau devisa habis. Ini soal kejatuhan daya beli rakyat, gelombang PHK yang makin membesar, dan hilangnya kepercayaan pada arah kebijakan ekonomi kita," kata Andry.
Berita TerkaitBerita LainnyaAdvertisementTerpopulerAdvertisement
Ahad , 13 Apr 2025, 11:55 WIB![]()
Rekor, Pembalap Nasional Ikuti Pertamina Mandalika Racing Series 2025 Putaran Pertama
Ahad , 13 Apr 2025, 11:50 WIBDari Dapur Kecil, Tien Cakes and Cookies Makin Berkembang Berkat BRI
Ahad , 13 Apr 2025, 10:55 WIBTerkait Pemulihan Sistem Bank DKI, Ini Imbauan Legislator DPRD Jakarta
Ahad , 13 Apr 2025, 10:04 WIBIndustri Baja Was-was Ancaman Tarif AS dan Pembukaan Kuota Impor
Ahad , 13 Apr 2025, 09:54 WIBKrakatau Steel Andalkan Efisiensi dan Inovasi Hadapi Dampak Tarif AS
Advertisement