REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alfian (32 tahun) pedagang Toko Batik Annas Cirebonan di Thamrin City, Jakarta, tak pernah membayangkan usahanya yang sudah berjalan selama dua dekade akan menghadapi tantangan seberat ini. Di tengah maraknya belanja online dan gempuran produk impor, para pedagang kain batik seperti dirinya harus berjuang keras agar tetap bertahan.
Industri manufaktur, khususnya sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), tengah mengalami kemunduran signifikan. Banyak pabrik tutup, ribuan pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), sementara pedagang pasar tradisional harus bersaing dengan barang impor murah yang membanjiri pasar.
Melemahnya industri ini bukan hanya disebabkan oleh perubahan pola konsumsi masyarakat, tetapi juga kebijakan pemerintah yang dinilai lebih berpihak pada impor dibandingkan perlindungan terhadap produk dalam negeri.
“Kebetulan saya produksi sendiri. Kami berasal dari Cirebon, Jawa Barat, lebih ke pengrajin sendiri, jadi tidak ada yang impor,” kata Alfian saat ditemui Republika di tokonya, beberapa waktu lalu.
Namun, kondisi bisnis kini jauh berbeda dibanding beberapa tahun lalu. Pandemi Covis-19 menjadi pukulan telak, dan hingga sekarang, penjualan belum sepenuhnya pulih. “Sebelum Covid-19, penjualan sangat baik, tidak seperti sekarang ini. Kalau bulan puasa (saat ini), kondisinya hampir sama seperti saat Covid-19, ada plus minusnya,” ujarnya.