Selasa 14 Jan 2025 13:25 WIB

Pengamat: Harga Gabah di Bawah HPP Perlu Perhatian Serius Pemerintah

Harga gabah di bawah HPP ini perlu perhatian serius bagi pemerintah.

Rep: Frederikus Dominggus Bata/ Red: Gita Amanda
Pekerja menjemur gabah di Kasemen, Kota Serang, Banten, Kamis (2/1/2025). Pemerintah menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dari Rp6.000 menjadi Rp6.500 per kilogram sebagai upaya untuk mendukung pencapaian target swasembada pangan.
Foto: ANTARA FOTO/Putra M. Akbar
Pekerja menjemur gabah di Kasemen, Kota Serang, Banten, Kamis (2/1/2025). Pemerintah menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dari Rp6.000 menjadi Rp6.500 per kilogram sebagai upaya untuk mendukung pencapaian target swasembada pangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economics  (CORE), Eliza Mardian turut berbicara mengenai isu harga pembelian pemerintah (HPP) gabah di beberapa daerah masih di bahah angka yang ditetapkan. Pemerintah menetapkan HPP gabah kering Rp 6.500.

Menurutnya, biasanya sebelum panen raya, harga gabah relatif tinggi. Kemudian harga gabah hanya turun ketika panen raya berlangsung. Pun ketika isu impor bermunculan.

 

"Harga gabah di bawah HPP ini perlu perhatian serius bagi pemerintah, karena harga gabah di bawah HPP tentunya akan memengaruhi kesejahteraan petani," kata Eliza kepada Republika Selasa (14/1/2025).

 

Apalagi, lanjut dia, biaya produksi usaha tani tentu mengalami kenaikan. Dengan HPP RP 6.500, menurutnya, itu hampir setara modal yang dikeluarkan petani. Jika anjlok, bisa merugikan dan menurunkan daya beli petani.

 

Eliza berharap Bulog melakukan stabilisasi harga. Mulai Rabu (15/1/2025) Bulog menyerap gabah kering dari petani sesuai HPP terbaru. Ia memahami cadangan beras pemerintah masih banyak. Sehingga gudangnya tidak optimal menyerap gabah petani.

 

"Sergap, serap gabah. Jika gudang full, cari alternatif gudang lain, misalnya memanfaatkan resi gudang milik BUMN lain yang belum termanfaatkan secara optimal," ujar Pengamat Pertanian CORE ini.

 

Ia mendorong pemerintah turun tangan jika berkaitan dengan harga. Tidak bisa menyerahkan kepada mekanisme pasar. Karena jika demikian, daya beli petani akan semakin tergerus. 

 

Belakangan isunya mengarah pada Bulog. Namun sebetulnya serap gabah baru dimulai besok. Lalu jika tidak optimal dalam menyerap gabah atau beras, menurutnya karena beberapa faktor ini.

 

Pertama, ada regulasi ketat perihal jenis beras yang diterima Bulog. Sedangkan petani ini untuk mengeringkan saja masih manual, menggunakan cahaya matahari. Kurang penerapan teknologinya. "Karena itu kualitas gabahnya kurang baik," ujar Eliza.

 

Kedua, pendanaan Bulog dalam menyerap gabah petani terbatas. Bahkan Bulog meminjam ke lembaga keuangan untuk menyerap gabah. Jika menggunakan dana lembaga keuangan maka harus ada margin bagi lembaga tersebut. 

 

Oleh karena itu, menurut Eliza, perlu dicarikan alternatif pembiayaan yang tidak membebani keuangan bulog. Misalnya memanfaatkan  dana lainnya di Bank Indonesia yang sama sama memiliki kepentingan menjaga inflasi. "Beras ini kan kontribusi terhadap inflasinya cukup besar. Sehingga sudah saatnya BI dan pemerintah bekerja sama untuk stabilisasi harga pangan."

 

Ketiga, karena kurang modal, petani memakai sistem sistem ijon dalam berbisnis. Sistem itu yakni petani menjual kepada tengkulak dengan harga rendah sebelum masa panen, lalu dibayar dengan hasil produksinya nanti. 

 

"Ketika panen, padinya sudah diangkut bandar dengan harga di bawah rata-rata pasar karena sudah dibayar di awal ke petani. Jadi ya tidak bisa menjual ke bulog," ujar Eliza.

 

Keempat, petani yg tidak menggunakan sistem ijon,  kerap kebingungan menjual ke Bulog karena minimnya info dan harus mengeluarkan biaya transport. "Kalau menjual ke bandar, bandarnya jemput bola. Petani tidak pusing lagi mengirimkan barangnya dan tidak mengeluarkan biaya ongkos ke Bulog. Gudang Bulog ini kan tidak di setiap desa," tutur Eliza.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement