REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti maraknya kembali praktik beras oplosan di tengah tren kenaikan harga beras. Ia menilai fenomena ini merupakan siasat para pelaku usaha agar tetap meraih margin keuntungan tinggi tanpa melanggar ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Beras oplosan bukan praktik yang baru, terutama saat harga beras kembali naik. Pengoplos ingin marginnya tetap tinggi dan patuh HET, tapi harga gabahnya kan sudah naik,” ujar Bhima saat dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Bhima menyebut, kebijakan pemerintah yang membeli gabah seharga Rp 6.500 per kilogram (kg) tanpa memperhatikan kualitas turut menjadi pemicu. Menurutnya, kondisi ini mendorong pelaku usaha untuk mencampur beras medium dengan kualitas lain guna mengejar volume.
“Selain faktor pengawasan, ada juga pemicu dari program pembelian gabah pemerintah Rp 6.500 per kg tanpa memperhatikan kualitas. Akhirnya beras mediumnya dicampur dengan beras kualitas lain,” sambung Bhima.
Ia menegaskan, praktik semacam ini sangat merugikan konsumen. Oleh karena itu, Bhima mendorong pemerintah untuk tidak hanya tegas dalam memberikan sanksi kepada para pelaku, tetapi juga membenahi kebijakan di sektor hulu.
“Yang dirugikan jelas konsumen. Jadi, pemerintah harus tegas soal sanksi terhadap pengoplos beras—mulai dari pencabutan izin usaha sampai sanksi pidana. Tapi di sisi lain, benahi juga akar masalah dari sisi kebijakan perberasan di hulu,” tegasnya.