REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Dalam paparan konferensi pers kebijakan tersebut, pemerintah mengungkapkan sejumlah latar belakang yang mendasarinya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pengambilan kebijakan untuk tetap menaikkan tarif PPN lantaran tingkat konsumsi masyarakat masih positif. Dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi hingga kuartal III 2024 secara kumulatif mencapai 5,03 persen. Kemudian, inflasi hingga November 2024 pun terkendali di level 1,55 persen.
"Konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari 50 persen ekonomi Indonesia tumbuh kuat dan diharapkan tumbuh di atas 5 persen," ujarnya Airlangga, Senin (16/12/2024).
Airlangga mengatakan, daya beli masyarakat relatif kuat dengan melihat data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada November yang mencapai level 125,9. Tak hanya itu, dengan mengutip data Nielsen, Airlangga juga meyakini kemampuan belanja masyarakat masih tetap kuat.
"Ini menunjukkan masyarakat masih kuat untuk berbelanja dengan consumer spending tumbuh 1,7 persen," ungkapnya.
Senada dengan Airlangga, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan hal serupa. Sri Mulyani menyampaikan, data konsumsi rumah tangga menunjukkan tinggi pertumbuhan yang relatif terjaga.
Kemudian, Sri Mulyani mengatakan, inflasi yang kini berada di level 1,5 persen adalah bagian bentuk deflasi dari sisi pangan. "Banyak yang mengasosiasikan deflasi dari sisi pangan sebagai daya beli. Ini sebetulnya adalah koreksi dari harga pangan tahun lalu yang sangat tinggi," ungkap Sri Mulyani.
Sri Mulyani pun meyakini, justru kondisi penurunan inflasi bahan pangan itu mendukung daya beli masyarakat. Ini pun tecermin dalam kondisi inflasi inti yang masih tumbuh 2,26 persen (yoy) pada November 2024.
"Ini menggambarkan demand masih terjaga tumbuh. Konsumsi domestik masih terjaga baik," ujarnya.