Kamis 29 Aug 2024 09:38 WIB

Asumsi Rupiah Tahun Depan: Bank Indonesia Optimistis, Sri Mulyani Lebih Hati-Hati

Hal itu tidak lain karena tingginya ketidakpastian global.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petugas menghitung uang dolar AS di tempat penukaran valuta asing.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas menghitung uang dolar AS di tempat penukaran valuta asing.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi XI DPR RI menyoroti soal perbedaan asumsi nilai tukar rupiah versi pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pembahasan asumsi dasar RUU APBN 2025 pada Rabu (28/8/2024). Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Perry Warjiyo pun menyampaikan pandangan masing-masing.

Asumsi nilai tukar rupiah yang dipatok oleh pemerintah dalam RAPBN 2025 diketahui sebesar Rp 16.100 per dolar AS. Sementara itu, BI menentukan prediksi pergerakan rupiah di kisaran Rp 15.300—Rp 15.700 per dolar AS.

Baca Juga

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan dari berbagai asumsi makro memang yang sama dengan pemerintah adalah angka target pertumbuhan ekonomi dan inflasi, sedangkan nilai tukar rupiah dan SBN muncul perbedaan.

“Posisi kami, BI, kan memberikan masukan untuk dipertimbangkan oleh Komisi XI DPR dan pemerintah,” kata Perry dalam RDP yang digelar di Kompleks DPR RI, Rabu (28/8/2024).

Perry menekankan bahwa nilai tukar rupiah dalam perkiraan Rp 15.300—Rp 15.700 per dolar AS merupakan nilai fundamental. Asumsi itu belum mempertimbangkan kondisi eskalasi geopolitik yang naik dan turun.

“Karenanya ada perlu kehati-hatian di atas nilai fundamentalnya, tinggal diukur saja dari Rp 15.700 ditambah berapa untuk nilai kehati-hatiannya,” tutur dia.

Perry menjelaskan bahwa nilai tukar jika termasuk fiskal memang perhitungannya tidak hanya hitung-hitungan di atas kertas, yang dampaknya nanti kepada penerimaan dan pengeluaran. Sehingga memang mempertimbangkan unsur kehati-hatian.

Namun, menurut pandangan Perry setidaknya angka kehati-hatian itu lebih tepat jika selisihnya sekitar Rp 200 dari asumsi maksimal BI di angka Rp 15.700, yang artinya Rp 15.900 per dolar AS.

“Mungkin Rp 16.100 per dolar AS, artinya tambahnya Rp 400, berarti terlalu berhati-hati. Simpulannya mungkin pandangan kami ditambah Rp200, Rp 15.700 menjadi Rp 15.900 per dolar AS. Rp 200 tambahan itulah tambahan kehati-hatian mungkin masih make sense,” terangnya.

“Tapi ini pandangan kami. Tentu saja kami kembalikan kepada DPR dan pemerintah,” lanjutnya.

Kuatnya Kehati-hatian

Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pihaknya memahami esensi yang disampaikan oleh Perry Warjiyo sekaligus kritik yang diungkapkan oleh anggota Komisi XI DPR RI dalam rapat tersebut. Dia menekankan dua faktor fundamental yang menjadi fondasi dari penetapan angka asumsi Rp 16.100 per dolar AS. Yaitu mengenai neraca pembayaran atau balance of payment (BOP) dan cadangan devisa.

“Kalau kita bicara BOP hampir semua proyeksi current account deficit itu lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Current account deficit tidak berbalik hanya dengan semalam, itu yang menyebabkan kami menjadi ekstra hati-hati,” ujar Sri Mulyani.

Sebab, Sri Mulyani menyebut jika pertumbuhannya makin tinggi, jika tidak menggunakan strategi yang bagus, lantas tiba-tiba current account deficit langsung tinggi, nantinya berimbas secara langsung pada nilai tukar.

“Lalu cadangan devisa. Fiskalnya kan defisitnya agak tinggi di 2,53 persen dibandingkan tahun ini, jadi saya menganggap bahwa Rp 16.100 per dolar AS memberikan bantalan pertama terhadap kemungkinan current account deficit-nya akan lebih tinggi dibandingkan 2024 atau bahkan 2023. Dan dari sisi cadangan devisa maupun kemampuan kita untuk bisa meng-accumulate. Itu fondasinya,” jelasnya.

Sri Mulyani lantas menjelaskan pula mengenai sentimen-sentimen yang memengaruhi penentuan asumsi rupiah di angka Rp 16.100 per dolar AS. Hal itu tidak lain karena tingginya ketidakpastian global.

Itu tercermin dari pergerakan rupiah yang berbanding terbalik. Pada akhir 2023 hingga semester I 2024, rupiah mengalami depresiasi yang dalam di kisaran 5—6 persen. Namun, mulai akhir Juli hingga akhir Agustus 2024 ini mulai terapresiasi di angka 5 persen secara month to date (mtd), meskipun masih terdepresiasi sekitar 0,5 persen secara year to date (ytd).

“Kalau sentimen, wong tiga minggu lalu sentimennya di Rp 16.100, Rp 16.300 bahkan dua bulan lalu Rp 16.400, itu kayaknya biasa. Hari ini kita bicara Rp 15.400 juga biasa, itu karena sentimen. Jadi saya akan sampaikan fondasinya untuk Indonesia versus tren global,” terangnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement