Rabu 05 Jun 2024 18:25 WIB

BUMN Farmasi Tersangkut Fraud dan Dugaan Modus Baru Praktik Korupsi

Perusahaan berkomitmen mendukung dan menjalankan program bersih-bersih.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi layanan Kimia Farma.
Foto: Dok Republika
Ilustrasi layanan Kimia Farma.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota holding BUMN farmasi, PT Kimia Farma dan PT Indofarma, tengah mendapat sorotan tajam menyusul kinerja negatif dalam praktik bisnisnya, termasuk saat tidak mampu memenuhi kewajiban dalam pembayaran gaji kepada karyawan. Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amin AK menyebut terdapat kemiripan penyebab munculnya krisis Indofarma dan Kimia Farma yaitu adanya fraud atau dugaan praktik korupsi dan manipulasi di anak usaha kedua BUMN tersebut.

"Saya khawatir, ini menjadi modus baru praktik korupsi di berbagai BUMN, bukan hanya BUMN farmasi," ujar Amin saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (5/6/2024).

Baca Juga

Amin mengatakan kondisi negatif yang belum terlalu besar pada Indofarma dan Kimia Farma tidak akan berdampak signifikan bagi induk holding BUMN farmasi yakni PT Bio Farma. Namun, Amin menilai praktik fraud yang telah berlangsung lama pada akhirnya akan menyeret induk usaha ke dalam krisis keuangan yang serius.

"Saya mendesak Kementerian BUMN segera bertindak cepat dengan membentuk Satgas untuk mendeteksi persoalan serupa di BUMN-BUMN lainnya secara dini," ucap Amin.

 

Politisi PKS itu menyampaikan peningkatan pengawasan menjadi salah satu kunci utama dalam menjaga kinerja BUMN. Amin menilai ketidakmampuan BUMN farmasi dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) akan membahayakan keberlanjutan bisnis BUMN yang merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional.

"Dalam kasus Indofarma dan Kimia Farma yang buruk. Indofarma misalnya, memproduksi alkes yang tidak sesuai kebutuhan pasar serta mengabaikan atau salah menilai kondisi kemampuan keuangan mitra konsumen Alkes, sehingga terjadi gagal bayar," sambung Amin.

Sementara itu, Amin menyebut terjadi inefisiensi operasional Kimia Farma karena kapasitas 10 pabrik yang tidak sebanding dengan pemenuhan kebutuhan bisnis perseroan. Amin menambahkan kenaikan HPP sebesar 25,83 persen pada 2023 lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan penjualan yang hanya sebesar 7,93 persen.

"Hal ini disebabkan oleh belum optimalnya portofolio produk, dinamika harga bahan baku, dan tren obat untuk terapi yang berbeda dengan sebelumnya," kata Amin.

Direktur Utama Kimia Farma David Utama mengatakan perusahaan berkomitmen mendukung dan menjalankan program bersih-bersih yang diinisiasi Kementerian BUMN. Sepanjang 2023, sambung David, Kimia Farma melakukan upaya bersih-bersih dan pembenahan operasional, salah satunya melalui penyajian Laporan Keuangan Tahunan 2023 (LKT 2023) yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).

"Pada 2023, terdapat beberapa kondisi yang turut memberikan pengaruh pada penurunan laba Kimia Farma, yaitu inefisiensi operasional dan tingginya nilai Harga Pokok Penjualan (HPP)," ujar David dalam siaran pers pada Ahad (2/6/2024).

David menyampaikan salah satu penyebab inefisiensi operasional karena kapasitas 10 pabrik yang dimiliki tidak sejalan dengan pemenuhan kebutuhan bisnis perseroan. Sebagai langkah untuk meningkatkan efisiensi, perseroan akan melakukan optimalisasi fasilitas produksi melalui penataan 10 pabrik menjadi lima pabrik.

Selain itu, David mengatakan manajemen Kimia Farma juga menemukan dugaan pelanggaran integritas penyediaan data laporan keuangan yang terjadi di anak usaha yaitu Kimia Farma Apotek (KFA) pada periode 2021-2022. Saat ini, lanjut David, Kimia Farma tengah menelusuri lebih lanjut atas dugaan tersebut melalui audit investigasi yang dilakukan oleh

pihak independen.

"Adanya faktor-faktor di atas mengakibatkan kerugian Kimia Farma secara konsolidasi pada 2023 mencapai Rp 1,82 triliun," kata David.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Mahendra Sinulingga mengatakan langkah Menteri BUMN Erick Thohir membentuk holding BUMN farmasi sudah tepat. Dengan model holding tersebut, Arya menyampaikan, Bio Farma selaku induk holding dapat memberikan dukungan berupa pembayaran gaji karyawan Indofarma.

"Jadi, langkah kami dulu itu membuat Indofarma di bawah Bio Farma adalah langkah tepat juga karena ketika kondisi Indofarma jelek, paling tidak, untuk gaji dan sebagainya bisa ditanggulangi Biofarma," ujar Arya saat konferensi pers virtual pada Selasa (21/5/2024).

Arya menjelaskan fraud Indofarma berawal saat adanya audit investigasi internal terhadap kondisi keuangan perusahaan.

"Sebenarnya, problemnya Indofarma ada di anak usahanya, namanya Indofarma Global Medika (IGM), yang tugasnya mendistribusikan dan menjual produk Indofarma," ucap Arya.

Dalam audit internal Indofarma, ucap Arya, IGM telah menerima pembayaran tagihan dari pihak ketiga senilai Rp 470 miliar. Namun, kata Arya, IGM tidak menyetorkan pembayaran tersebut kepada Indofarma.

"Dana ini ternyata tidak disetor, padahal setelah dicek audit internal Indofarma, ternyata sudah ditagih semua sama IGM, tapi tidak masuk ke Indofarma," ucap Arya.

Arya menyampaikan Menteri BUMN Erick Thohir pun meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi. Hasilnya, BPK menemukan indikasi kerugian negara sekitar Rp 370 miliar.

"Pak Erick mendorong BPK melakukan audit investigasi setelah ditemukan potensi fraud, ini nantinya ditindaklanjuti yang sekarang sudah dimasukkan ke Kejaksaan juga," kata Arya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement