REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengungkapkan, akan ada sejumlah dampak yang berpotensi terjadi dari eskalasi konflik Iran-Israel. Apalagi, negara-negara Timur Tengah merupakan produsen minyak yang terbesar di dunia.
"Kurang lebih sekitar 13 juta barel per hari untuk bisa didistribusikan ke seluruh dunia," kata Esther dalam diskusi Indef, Sabtu (20/4/2024).
Sementara itu, Esther menuturkan, Indonesia memiliki kebutuhan minyak sekitar 3,45 juta barel per bulan dan cukup signifikan. Saat terjadi konflik atau perang antara Iran dengan Israel, yang dikhawatirkan adalah akan ada keterbatasan pasokan.
"Ini karena apa? Karena adanya perang orang mau mengirim atau mengekspor, itu kan juga lebih sulit," ucap Esther.
Akibatnya, lanjut dia, saat suplai terbatas dan permintaan tetap, maka yang terjadi adalah kenaikan harga minyak. Padahal, harga minyak merupakan komponen dari biaya transportasi.
"Tentunya kalau biaya transportasi naik karena harga minyak naik maka hal ini akan berdampak pada kenaikan harga-harga barang," ujar Esther.
Dampak lainnya yang terjadi jika harga minyak naik maka akan berdampak pada APBN. Esther menjelaskan, dalam APBN terdapat asumsi makro atau indikator ekonomi.
"Harga minyak ini pasti akan berdampak pada pembengkakan biaya-biaya atau anggaran APBN. Sehingha karena adanya kenaikan harga minyak ini, diprediksi akan ada defisit fiskal sebesar dua sampai tiga persen," ungkap Esther.