REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai kesepakatan global yang tercantum dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 32 persen atau 358 juta ton CO2 dengan usaha sendiri atau sebesar 41 persen atau sebanyak 446 juta ton CO2 dengan bantuan dunia internasional pada 2030.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian EDSM Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan bahwa pada 2022, realisasi penurunan GRK mencapai 118,2 juta ton CO2. Angka tersebut melebihi target yang dicanangkan dalam penurunan emisi pada 2023 sebesar 116 juta ton CO2.
"Jadi kita sekarang sudah bonus sekitar 2 juta ton CO2. Kalau bisa, ke depan bonus ini ingin kita bisa perdagangkan di pasar karbon karena we do better than our target. Sejalan dengan komitmen dan ambisi besar Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca," kata Yudo dalam keterangan resminya, Senin (16/10/2023).
Dari penurunan emisi 2022, jelas Yudo, sektor energi berkontribusi sebesar 91,5 juta ton CO2, berkat usaha-usaha yang telah dilakukan melalui aksi efisiensi energi, pemanfaatan energi baru dan terbarukan, penggunaan bahan bakar rendah karbon, serta penggunaan teknologi pembangkit yang lebih bersih.
Adapun, realisasi penurunan emisi GRK sektor energi, dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan, yaitu pada tahun 2019 realisasi penurunan emisi 54,8 juta ton CO2 dari target 51 juta ton CO2. Selanjutnya pada tahun 2020, dari target 58 juta ton CO2, realisasi 64,4 juta ton CO2. Kemudian tahun 2021, target 67 juta ton CO2 sementara realisasi 70 juta ton CO2. Terakhir, tahun 2022, target penurunan emisi sebesar 91 juta ton CO2 dengan realisasi 91,5 juta ton CO2.
Lebih lanjut, Yudo menyebutkan, sejalan dengan komitmen dan ambisi dalam menurunkan GRK, Indonesia juga menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk mencapai hal tersebut, Yudo menyebut bahwa perlu dukungan dari komunitas global dalam dua hal. Pertama ialah pendanaan, karena untuk melakukan transisi energi sangat memerlukan pendanaan yang sangat besar.
"Selanjutnya adalah teknologi, kita membutuhkan teknologi yang baru, yang lebih efisien, lebih produktif, karena kita juga masih negara berkembang, sehingga diperlukan teknologi yang affordable juga," kata Yudo.