REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik di Jalur Gaza, Palestina, dengan Israel kembali memanas seusai serangan dari para pejuang Hamas ke Israel pada Sabtu (7/10/2023) pekan lalu. Konflik tersebut lantas ikut berdampak pada lonjakan harga minyak imbas respons pasar terhadap kemungkinan krisis geopolitik yang lebih luas.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, harga minyak dunia hingga akhir pekan ini cenderung melandai ke level 86 dolar AS per barel setelah pada pekan lalu tembus hingga 96 dolar AS per barel.
“Kita berharap jangan naik lagi dari 90 dolar AS. Biar di level itu dulu, karena dengan begitu berarti kita bisa menjaga keberlangsungan BBM di dalam negeri,” kata Arifin di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jumat (13/10/2023).
Di satu sisi, Arifin mengatakan, pemerintah juga tengah fokus untuk menjaga stabilitas harga bahan bakar minyak dalam negeri menjelang gelaran Pemilu 2024.
“Semuanya agar tenang dulu,” ujarnya singkat.
Lebih lanjut, dirinya yakin harga minyak akan bertahan pada level saat ini lantaran telah banyak negara yang telah menyetok cadangan minyak di dalam negeri. Di satu sisi, negara-negara Eropa seperti Jerman dan Batubara juga kembali menggunakan batu-bara untuk persiapan musim dingin.
Pada awal pekan ini, harga minyak melonjak lebih dari tiga dolar AS per barel di awal perdagangan Asia pada Senin (9/10/2023). Hal ini karena konflik antara pasukan Israel dan Hamas selama akhir pekan kemarin menimbulkan ketidakpastian politik di Timur Tengah.
Minyak mentah Brent naik 3,34 dolar AS atau 3,95 persen, menjadi 87,92 dolar AS per barel pada 2320 GMT, sementara minyak mentah West Texas Intermediate AS berada 86,23 dolar AS per barel atau naik 3,44 dolar AS, atau 4,16 persen.
Pejuang Hamas pada Sabtu (7/10/2023) melancarkan serangan militer terbesar terhadap Israel dalam beberapa dekade terakhir sehingga menewaskan ratusan warga Israel dan memicu gelombang serangan udara balasan Israel di Gaza yang berlanjut hingga Ahad (8/10/2023).
Letusan konflik mengancam akan menggagalkan upaya AS untuk menengahi pemulihan hubungan antara Arab Saudi dan Israel. Kerajaan Saudi dikabarkan akan menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbal balik kesepakatan pertahanan antara Washington dan Riyadh.
Normalisasi hubungan Saudi-Israel kemungkinan akan membekukan langkah-langkah menuju perdamaian antara Arab Saudi dan Iran.
“Meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah akan mendukung harga minyak, volatilitas yang lebih tinggi dapat diperkirakan terjadi,” kata Analis dari ANZ Bank seperti dikutip Reuters.