REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teror pinjaman online (pinjol) kembali memakan korban. Belum lama ini viral seorang nasabah platform peer to peer lending (P2P lending) AdaKami yang diduga bunuh diri setelah mendapatkan sejumlah ancaman dari pihak Desk Collection (DC).
Menanggapi kasus tersebut, Peneliti Center of Digital Economy and SMEs INDEF Nailul Huda melihat ada dua hal yang menyebabkan terjadinya kasus gagal bayar hingga merenggut korban jiwa. Pertama, menurut Huda, informasi mengenai pinjol masih belum simetris.
"Informasi yang berkembang saat ini asimetris, sebagai contoh mengenai bunga," kata Huda kepada Republika.co.id, Kamis (21/9/2023).
Berdasarkan survei, Huda menjelaskan, faktor paling penting yang dipertimbangkan saat meminjam adalah suku bunga yang rendah. Namun, pinjol tidak memberikan informasi secara rinci besaran bunga yang harus dibayarkan.
"Iklan pinjol hanya menampilkan bunga mulai 0,1 persen hingga 0,4 persen tanpa menampilkan apakah itu harian, mingguan, atau bulanan. Jika harian sebesar 0,4 persen, maka satu bulan adalah 12 persen," jelas Huda.
Selain itu, kasus terakhir menyebutkan pembayarannya mencapai dua kali lipat dari utang pokok. Untuk itu, Huda meminta ada pihak yang harus bertanggung jawab terhadap informasi tersebut.
Kedua, Huda melihat, penilaian credit scoring pinjol yang menggunakan data alternatif masih perlu diperkuat. Menurut Huda, harus ada data pembanding atau penunjang seperti data historis perbankan. Data ini bisa digunakan untuk melihat kemampuan bayar calon peminjam.
"Ini dapat dilihat sebenarnya dari tingkat gagal bayar yang semakin meningkat. Bahkan ada pinjol resmi yang tingkat bayarnya sampai 77 persen. Artinya, dari sistem asesmennya harus ada perbaikan," kata Huda.