REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI, Ditha Wiradiputra, menilai sidang dugaan kartel fintech di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bisa berdampak pada kepercayaan investor asing.
“Persidangan ini masih berjalan. Komisioner KPPU belum memberikan keputusan final. Jadi, jangan sampai publik menganggap sudah pasti ada pelanggaran,” ujarnya dalam sesi berbagi bersama media di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
“Bila kasus ini dibesar-besarkan sebelum ada putusan, kepercayaan investor bisa terpengaruh,” tambahnya.
Ia mencontohkan, seorang direktur utama perusahaan pelabuhan pernah bercerita kepadanya bahwa investasi miliaran rupiah dari luar negeri tertunda gara-gara perusahaan tersebut berperkara di KPPU. Investor asing, kata Ditha, selalu menunggu putusan final sebelum menanamkan modal.
Menurutnya, hal serupa bisa terjadi di industri fintech bila perkara tidak dikelola hati-hati.
“Nah, hal semacam ini yang harus kita waspadai agar jangan sampai isu yang masih di tahap persidangan ini dianggap sudah final,” katanya.
AFPI juga membantah tuduhan adanya kesepakatan harga pada 2018. Asosiasi menyebut Code of Conduct yang dijadikan alat bukti KPPU sudah dicabut sejak 8 November 2023, saat SEOJK 19/2023 mulai berlaku.
“Kami ingin menegaskan bahwa tidak pernah ada kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) antarplatform di 2018–2023. Pasca ditetapkannya SEOJK 19/2023 yang berlaku di akhir 2023, kami telah mencabut Code of Conduct dan patuh pada regulasi,” ujar Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI, Kuseryansyah.
Ia menegaskan batas maksimum suku bunga ketika itu merupakan arahan OJK untuk melindungi konsumen dari pinjol ilegal yang memasang bunga tinggi. “Hal ini juga sudah kami sampaikan ke KPPU,” katanya.
Data OJK yang dikutip Celios mencatat jumlah pinjol ilegal mencapai 3.240 sepanjang 2024, atau 30 kali lipat lebih banyak dibanding pinjol resmi yang hanya 97. “Masifnya penyebaran pinjol ilegal menuntut pelaku usaha berizin untuk menetapkan mekanisme perlindungan konsumen, salah satunya membatasi suku bunga supaya terjangkau dan tidak membebani,” kata Kuseryansyah.
Sementara itu, Ditha menilai tuduhan kartel KPPU tidak sesuai konteks. “Dalam konteks industri pinjol, manfaat ekonomi malah diturunkan. Jadi, apakah ada keuntungan yang lebih besar diperoleh perusahaan pinjol?” ujarnya.
Ia menambahkan Pasal 5 yang dikenakan KPPU terkait price fixing berbeda dengan Pasal 11 tentang kartel. Menurutnya, terjadi salah persepsi bila keduanya disamakan.
Ditha juga menjelaskan kasus ini bermula dari Pedoman Perilaku AFPI tahun 2019 yang melarang bunga di atas 0,8 persen per hari untuk merespons praktik pinjol ilegal dengan bunga 2–3 persen.
“Artinya, perusahaan anggota AFPI tidak boleh mengenakan bunga lebih dari 0,8 persen kepada pengguna dana, tetapi kalau ingin mengenakan bunga di bawah itu, boleh saja,” jelasnya.
Namun, KPPU menilai aturan itu sebagai bentuk perjanjian penetapan harga. Perdebatan pun muncul karena price fixing lazimnya dimaknai sebagai kesepakatan tertutup, bukan aturan asosiasi terbuka. “Persidangan ini masih berjalan. Komisioner KPPU belum memberikan keputusan final,” pungkas Ditha.
KPPU membuka sidang dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 pada 14 Agustus 2025 dengan melibatkan 97 perusahaan fintech anggota AFPI sebagai terlapor. Jumlah ini terbanyak sepanjang sejarah KPPU. Sidang berikutnya dijadwalkan 26 Agustus 2025 untuk pembacaan laporan dugaan pelanggaran bagi empat terlapor yang tidak hadir serta pemeriksaan alat bukti.
Dian Fath Risalah