Selasa 12 Sep 2023 15:08 WIB

Revisi Permendag 50/2020 soal Social-Commerce Harus Selesaikan Masalah Ini

UU tidak memperbolehkan harga jual di bawah harga produksi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Tiktok Shop. Pemerintah diminta mengatur platform social commerce secara tegas.
Foto: Tiktok Shop
Tiktok Shop. Pemerintah diminta mengatur platform social commerce secara tegas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, ada beberapa masalah terkait aktivitas social-commerce. Maka ia menilai, revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, harus dapat menyelesaikan berbagai masalah tersebut.

Bhima menyebutkan, masalah pertama soal perizinan. Dirinya menjelaskan, media sosial seperti Tiktok memperoleh izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Sementara untuk melakukan perdagangan, izinnya ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Baca Juga

"Lalu bagaimana kalau social-commerce? Beda kalau e-commerce, perizinannya dan pengawasan perdagangannya ada di Kemendag. Jadi masih abu-abu masalah di social-commerce," tutur Bhima kepada Republika, Selasa (12/9/2023).

Masalah social-commerce yang kedua yakni, mengenai cross border. Jangan sampai perusahaan seperti Tiktok menjual barang secara langsung di platform media sosialnya.

Bhima menjelaskan, kalau di e-commerce Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) masih mendapat tempat sebagai reseller atau dropshipper, walau di platform tersebut juga banyak barang impor. Hanya saja bukan platform-nya langsung uang menjual barang.

"Sementara yang dikhawatirkan dari perkembangan Tiktok, bisa mengarah ke penjualan barang dari perusahaan yang terafiliasi dengan Tiktok yang ada di China. Maka langsung cross border direct ke konsumen akhir," tutur Bhima.

Dampaknya, tegas dia, bukan hanya ke UMKM. Melainkan juga produsen lokal, bahkan produsen makanan dan minuman berskala besar bisa terdampak, karena barang impor dari China dijual langsung lewat social-commerce.

Ketiga, katanya, terkait predatory pricing. Dijelaskan, algoritma dari social-commerce banyak dikritik karena mendorong akun tertentu, sehingga penjualan lebih laris.

"Lalu ada diskon besar-besaran tidak masuk akal. Undang-undang juga nggak membolehkan jual barang di bawah harga produksi karena bisa monopoli, kalau di Tiktok Shop kan besar-besar (diskonnya)," ujar Bhima.

Masalah keempat, sambungnya, mengenai cash flow UMKM. Kabarnya, pencairan dana pembelian dari konsumen lama jika berjualan di Tiktok Shop.

"Bisa dicek ke Tiktok Shop (lamanya). UMKM kan cash flow-nya kecil dan terbatas, laku hari ini ya buat dagang besok, jadi kalau bisa fair jangan ditahan, harus segera cairkan," tegasnya.

Pemalsuan barang, kata Bhima, turut menjadi masalah di social-commerce seperti Tiktokshop. Maka, kata dia, pengawasannya juga harus diatur pemerintah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement