Selasa 08 Aug 2023 19:17 WIB

Kritik Keras Kebijakan Hilirisasi, Faisal Basri: Hasilnya untuk China!

Nilai ekspor nikel dan turunannya tembus 12 miliar dolar AS dari 1 miliar dolar AS.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Lida Puspaningtyas
Pengamat Ekonomi Faisal Basri.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Pengamat Ekonomi Faisal Basri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance Faisal Basri mengkritik keras kebijakan hilirisasi yang kerap dibanggakan pemerintahan saat ini. Pasalnya, hasil dari hilirisasi tersebut justru malah lebih menguntungkan negara lain ketimbang industri di dalam negeri.

Faisal menyayangkan pemerintah saat ini tidak memiliki strategi industrialisasi yang jitu hingga deindustrialisasi terus terjadi di dalam negeri.

“Tidak ada strategi industrialisasi, yang ada adalah kebijakan hilirisasi. Sekadar bijih nikel dioleh jadi NPI (nickel pig iron) atau jadi veronikel, lalu 99 persen diekspor ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyatanya mendukung industrialisasi China,” kata Faisal dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef di Jakarta, Selasa (8/8/2023).

Faisal mengatakan, berbeda dengan hilirisasi, kebijakan industrialisasi akan meningkatkan perekonomian dari sisi strukur industri lokal serta meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Sementara, kata Faisal hilirisasi yang sementara berjalan untuk nikel nyatanya bukan diolah menjadi produk akhir yang bernilai tinggi.

“Luar biasa, tololnya luar biasa, jadi ini tidak dikoreksi. Sungguh, kita tidak dapat banyak (hasilnya), maksimal 10 persen, 90 persen ke China,” ujarnya.

Ia pun menyayangkan kebijakan hilirisasi tidak mendapatkan koreksi dari pemerintah. Sementara itu, Presiden Joko Widodo hingga para menteri tetap membanggakan hasil hilirisasi. Salah satunya, nilai ekspor nikel dan turunannya yang tembus 12 miliar dolar AS dari sebelumnya di bawah 1 miliar dolar AS.

Akibat dari deindustrialisasi itu, Faisal mengatakan, sektor jasa justru lebih mendominasi saat ini.

“Indonesia sudah lama bukan lagi sebagai negara agraris namun belum kunjung sebagai negara industri. Lebih dari satu dasawarsa lalu, Indonesia menjelma sebagai negara jasa,” ujarnya.

Ia mencontohkan, penduduk yang bekerja di sektor jasa pun sudah lebih banyak daripada yang bekerja di sektor penghasil barang. Masing-masing yakni 55,8 persen dan 44,2 persen per Februari 2022.

Selain itu, nilai kapitalisasi pasar saham di Bursa Efek Indonesia juga telah didominasi oleh perusahaan sektor jasa, yakni sekitar 60 persen. Sepanjang semester I, sektor jasa menyumbang 60 persen penerimaan pajak, sedangkan sektor penghasil barang hanya 38 persen.

Hasil Kajian Tengah Tahun Indef juga menyimpulkan, deindustrialisasi telah menjadi fenomena nyata di Indonesia. Kontribusi produk domestik bruto (PDB) industri pengolahan saat ini hanya 18,25 persen meski masih menjadi porsi terbesar dibandingkan sektor.

Sayangnya, peranan sektor industri pengolahan semakin menyusut dari waktu ke waktu. Ini menandakan terjadinya fenomena deindustrialisasi di Indonesia.

Indef memproyeksi, tanpa adanya upaya ekstra mencegah deindustrialisasi, ekonomi Indonesia pada 2023 diperkirakan hanya akan tumbuh 4,9 persen, di bawah dari target pemerintah 5,3 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement