Kamis 06 Jul 2023 13:39 WIB

Akibat Krisis, FDI Global Turun 12 Persen Tahun Lalu

Penurunan paling terasa di negara-negara maju.

Pabrik baterai mobil listrik skala raksasa milik perusahaan mobil listrik Amerika Serikat,
Foto: VOA
Pabrik baterai mobil listrik skala raksasa milik perusahaan mobil listrik Amerika Serikat,

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) mencatat, setelah sempat rebound kuat pada 2021, investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) global turun 12 persen pada 2022 menjadi 1,3 triliun dolar AS.

Dalam Laporan Investasi Dunia 2023 yang disampikan UNCTAD pada Rabu (5/7/2023), krisis global yang tumpang-tindih antara lain konflik militer antara Rusia dan Ukraina, harga pangan dan energi yang tinggi, dan utang publik yang melonjak, menjadi penyebab utama penurunan FDI. Penurunan paling terasa di negara-negara maju, di mana FDI turun 37 persen menjadi 378 miliar dolar AS.

Baca Juga

Sebagai catatan positif, pengumuman proyek investasi greenfield (investasi dalam bentuk pendirian unit-unit produksi baru) naik 15 persen pada 2022, tumbuh di sebagian besar wilayah dan sektor, kata laporan itu.

Industri yang berjuang dengan tantangan rantai pasokan, termasuk elektronik, semikonduktor, otomotif dan permesinan, mengalami lonjakan proyek. Sementara investasi di sektor ekonomi digital melambat.

Laporan itu mengungkapkan, defisit investasi tahunan yang melebar dihadapi negara-negara berkembang. Padahal, mereka bekerja untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2030. Kesenjangan sekarang sekitar empat triliun dolar AS per tahun atau naik dari 2,5 triliun dolar AS pada 2015 ketika SDGs diadopsi.

Investasi internasional dalam pembangkit energi terbarukan, termasuk energi surya dan angin, tumbuh sebesar 8,0 persen, lebih lambat dari pertumbuhan 50 persen yang tercatat pada 2021. Khusus proyek pembuatan baterai, meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari 100 miliar dolar AS pada 2022.

Meskipun investasi energi terbarukan meningkat hampir tiga kali lipat sejak diadopsinya Perjanjian Paris pada 2015, sebagian besar uang tetap mengalir ke negara-negara maju. Sementara negara-negara berkembang membutuhkan sekitar 1,7 triliun dolar AS setiap tahun dalam investasi energi terbarukan--termasuk jaringan listrik, jalur transmisi, dan penyimpanan--mereka hanya menarik sekitar 544 miliar dolar AS pada 2022.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 30 negara berkembang masih belum mendaftarkan proyek investasi internasional besar dalam energi terbarukan. Meskipun sebagian besar negara berkembang telah menetapkan target untuk beralih ke sumber energi berkelanjutan, hanya sepertiga dari mereka yang mengubah target tersebut menjadi informasi persyaratan investasi.

Laporan tersebut menyerukan dukungan mendesak kepada negara-negara berkembang untuk memungkinkan mereka menarik lebih banyak investasi secara signifikan buat transisi mereka ke energi bersih.

UNCTAD mengusulkan tindakan prioritas yang kompak, mulai dari mekanisme pembiayaan hingga kebijakan investasi untuk memastikan energi berkelanjutan untuk semua.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement