REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama ini, International Monetary Fund (IMF) meminta Indonesia menghapus atau mencabut kebijakan hilirisasi pengelolaan sumber daya alam khususnya biji nikel. Seperti dilansir dari Kantor Berita Antara, IMF memberikan catatan tentang rencana hilirisasi nikel di Indonesia dalam dokumen "IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia".
Dalam dokumen tersebut, IMF menyampaikan kebijakan Indonesia seharusnya berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Kebijakan juga harus mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain.
IMF lantas mengimbau Indonesia mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap terhadap pembatasan ekspor nikel serta tidak memperluas pembatasan ekspor ke komoditas lainnya.
Permintaan ini disesali oleh sejumlah pihak di Indonesia. Termasuk, para pengusaha.
“Terlalu jauh IMF mencampuri urusan domestik Indonesia. Mestinya, IMF menghormati kebijakan nasional Indonesia terkait hilirisasi pengelolaan nikel yaitu terpusat di dalam negeri,” kata salah satu pengusaha muda dari Sulawesi Tenggara Muhammad Fajar Hasan, Senin (3/7/2023).
Fajar mengatakan, program hilirisasi pengelolaan nikel di dalam negeri, bagian dari rencana jangka panjang kebangkitan ekonomi Indonesia 2045. Bangsa ini, kata dia, harus melompat lebih tinggi menjadi kekuatan ekonomi dunia 2045.
"Harus dimulai dari sekarang, agar kandungan sumber daya alam Ibu Pertiwi membawa nilai manfaat bagi bangsa. Selama ini, biji nikel kita diekspor ke luar negeri, tidak memberi efek domino dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya bagi daerah-daerah penghasil minerba, dan justru merusak ekosistem ekologis," kata dia.
Fajar menilai dengan adanya program hilirisasi, negara dan daerah mendapatkan manfaat melimpah. Misalnya, serapan tenaga kerja, pajak daerah, menciptakan pengusaha baru dan menggerakan ekonomi lokal. Di bidang lingkungan, korporasi yang terlibat dalam program hilirisasi, tanggung jawab pemulihan ekologisnya lebih terkontrol. Pemerintah, kata dia, bisa lebih impresif memastikan prinsip-prinsip ekonomi hijau sejalan dengan program hilirisasi.
Menurut Pengurus Badan Hubungan Legislatif Kadin Indonesia ini, pemerintah Indonesia harus lebih keras mengingatkan IMF, agar tidak terlalu jauh mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Sebagai negara berdaulat, negara lain atau badan-badan internasional, harus menghormati kepentingan dalam negeri Indonesia.
“Pernyataan IMF tersebut dapat dimaknai sebagai dikte yang mengancam kedaulatan ekonomi kita. Inikan bagian rentetan infiltrasi yang tak terpisah, karena sementara ini kita sedang berhadapan dengan Uni Eropa di WTO, kita kalah dan kita banding. Tiba-tiba muncul pernyataan IMF, meminta Indonesia menghapus program hilirisasi. Jika dicermati, niscaya hal ini merupakan skenario untuk melemahkan posisi Indonesia pada forum banding WTO”, ujarnya.
“Padahal, beberapa kali pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa pemurnian nikel di dalam negeri lebih besar manfaatnya untuk Indonesia dibanding biji nikel di ekspor ke luar negeri. Misalnya, baru saja Harita Grup di Maluku Utara melakukan ekspor sulfat nikel hasil pemurnian, manfaatnya sudah terasa di dalam negeri”, tutur kader Partai PDIP ini.
Sementara itu, Wakil Bendahara Umum ICMI Pusat ini menegaskan, bahwa alasan IMF, karena program hilirisasi pengelolan nikel di Indonesia berdampak ke wilayah lain. IMF tidak menjelaskan secara terperinci, apakah wilayah lain dimaksud adalah negara lain.
"Jadi sekali lagi, bahwa penghentian ekspor nikel, tidak mengganggu rantai pasok nikel secara global. Penghasil nikel bukan hanya Indonesia, tetapi Filipina, Australia, Cina, Russia, Brasil, dll," kata dia.
“Indonesia berhak melindungi kepentingan nasionalnya, mengelola secara mandiri nikelnya. Negara lain pun tidak dilarang berinvestasi di Indonesia dalam program hilirisasi pengelolaan nikel melalui mekanisme B to B atau G to G. Mayoritas smelter kita, terkoneksi dengan investasi asing," ujar Bakal Caleg DPR RI Dapil Sultra ini.