Selasa 14 Mar 2023 01:54 WIB

Peneliti Sebut Indonesia Miliki Banyak PR untuk Jadi Raja Baterai Dunia

Peneliti PRMM BRIN berharap ada arah jelas pengembangan industri baterai

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Peneliti Pusat Riset Material Maju (PRMM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Evvy Kartini, mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan mimpi menjadi raja baterai dunia. Menurut dia, hingga kini belum ada terlihat arah yang jelas untuk mewujudkan industri baterai tersebut.
Foto: Honda
Peneliti Pusat Riset Material Maju (PRMM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Evvy Kartini, mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan mimpi menjadi raja baterai dunia. Menurut dia, hingga kini belum ada terlihat arah yang jelas untuk mewujudkan industri baterai tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Riset Material Maju (PRMM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Evvy Kartini, mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan mimpi menjadi raja baterai dunia. Menurut dia, hingga kini belum ada terlihat arah yang jelas untuk mewujudkan industri baterai tersebut.

"Meski Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang sangat menunjang kelahiran industri baterai, namun sampai saat ini belum ada terlihat arah yang jelas untuk mewujudkan industri baterai tersebut," ujar pendiri National Battery Research Institute (NBRI) itu pada kegiatan Training of Trainers: Battery for Renewable Energy di Bogor, Jawa Barat, Senin (13/3/2023).

Evvy menyebutkan, mempunyai sumber daya alam berupa nikel yang besar, belum tentu serta-merta menjadikan Indonesia dengan mudah bisa menjadi raja baterai di dunia. Menurut dia, nikel saja tidaklah cukup. Untuk membuat baterai, kata dia, masih dibutuhkan bahan-bahan lainnya seperti lithium.

Dia mengungkapkan, saat ini sumber lithium terbanyak di dunia diproduksi oleh Australia, Chili, Argentina, dan China. Padahal, di Indonesia sendiri sebetulnya mempunyai potensi untuk memproduksi lithium yang sumbernya amat banyak.

"Problemnya, Indonesia seperti tidak punya fokus dalam mengembangkan baterai. Jika saja fokus pengembangan itu ada, maka akan mendorong lebih banyak industri lain yang mendukung industri baterai,” ujar Evvy.

Untuk mewujudkan ambisi menjadi raja baterai dunia, kata dia, Indonesia setidaknya harus menguasai tiga hal penting, yakni sumber daya alam (SDA), penguasaan teknologi, serta sektor downstream dan pasar. Terkait penguasaan teknologi, hal itu penting untuk mengolah nickel ore kadar rendah menjadi bahan baku baterai.

Kegiatan Training of Trainers itu diikuti 18 dosen politeknik negeri dari berbagai wilayah di Indonesia. Pelatihan yang berlangsung hingga 17 Maret 2023 tersebut merupakan hasil kerja sama NBRI dengan Renewable Energy Skill Development (RESD) Project di bawah GFA Consulting Group.

Evvy menjelaskan, program itu memungkinkan para dosen untuk belajar tentang teknologi baterai terbaru, aplikasinya sebagai medium penyimpanan untuk energi terbarukan, dan teknik pemeliharaan, yang kemudian dapat mereka sampaikan kepada para mahasiswa.

“Peserta pelatihan merupakan dosen-dosen yang mengajar mata kuliah bertopik energi terbarukan dari delapan politeknik negeri mitra ternama di Indonesia. Sebagian besar peserta bergelar master, satu orang sudah bergelar professor,” kata dia.

NBRI adalah lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi penyimpanan energi elektrokimia independen di Indonesia yang mendukung penelitian, pelatihan, dan pendidikan. NBRI bertujuan untuk berkontribusi pada keseluruhan kapasitas penelitian dan lingkungan pelatihan di Indonesia dalam riset baterai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement